tetes pertama

267 11 0
                                    




Menurutku, Senin adalah hari yang paling menjenuhkan. Bagaimana tidak? Kau harus berdiri memandang matahari sambil mendengar celotehan yang tak ada habisnya dari pembina upacara, tapi mungkin ada satu faktor x yang membuatku menyukai hari senin. Yaitu, dia.. yang kumaksud dia adalah pria tinggi berkulit hitam manis dengan susunan gigi yang tak terlalu rapih serta tatanan rambut yang kekinian. Fajar. Aku akui dia bukanlah cowo yang termaksud dalam deretan murid populer. Tapi, bisa diakui ia adalah cowo yang cukup terkenal, mengingat pernah ada kakak kelas perempuan hitz yang mengejarnya, lucunya Fajar malah dengan terang-terangan menolak kakak kelas itu, dan kejadian ini berhasil membuatnya menjadi bintang di sekolah untuk beberapa saat.

Ini adalah hari senin, mungkin ada kesempatan untuk baris bersebelahan dengan dirinya saat upacara mengingat kelas kita bersebelahan, tapi melihat hujan yang datang terlalu pagi bisa kupastikan upacara tak akan berlangsung. Pagi ini sepedaku sedang sakit, rantainya putus saat aku ajak melaju kencang sore kemarin. Jadi aku berjalan kaki menuju sekolah, tak cukup jauh memang. Tapi yang membuat ku kesal adalah hujan yang mengguyur bumi terlalu pagi. Bisa kupastikan saat sampai sekolah aku basah kuyup.

"HEI!" aku yang mendengar teriakan itu langsung menoleh kebalakang, kaget bukan main.

"Numpang dong.." tiba-tiba sesosok lelaki berseragam sama datang menghimpitku dengan air hujan di bawah payung kecil ini. Aku melihatnya, kemudian menyeritkan alis. Siapa dirinya tiba-tiba mengambil hak payung ini dariku?

"Lu mau gue sakit?" tanyanya yang membuat mukaku semakin masam dan otakku semakin bekerja lebih keras.

"Lu bisu ya?" tanyanya sekali lagi.

"Enggak, gue bisa ngomong..." jawabku judes.

"Gue numpang payung ya... soalnya kalau enggak nanti sampe sekolah gue pasti basah kuyup, terus kalo gue sakit gimana?" ia bertanya padaku seakan-akan aku adalah ibunya. "Lagian juga tujuan kita sama kan... jadi gapapa lah ya? nama gue Gilang, kenalin..." dia menjulurkan tangannya berharap aku akan membalas jabatan tangannya, tapi sungguh aku tak tertarik dengan namanya apalagi profil lanjutannya. U-uh not now boy, not now...

Ia merangkulku, menarikku mendekatinya.  Aku yang panik langsung menjauh, merasakan dingin di bahu kiri ku karena hujan  yang terus mengguyur bumi. Ia malah makin merangkulku dan mengambil payung itu dari genggamanku, kemudian menggenggamnya lebih tinggi lagi karena tingginya yang cukup jauh diatasku.

"Gue gak mau ngapa-ngapain... Cuma mau narik lu biar aja gak kebasahan..." selama di perjalanan hanya suara langkah kaki yang bertemu air yang berbunyi. Jalanan ini memang sepi, apalagi bila hujan. Sesekali motor melaju kencang menyipratkan air kepada Gilang yang berjalan bersebelahan dengan jalan. Ia telah melepas rangkulannya dariku, mengingat aku yang risih berada dalam rangkulnya.

Aku berterimakasih padanya karena telah menemaniku di perjalanan yang sangat membosankan ini, tapi rasa terimakasih itu sudah ku buang jauh-jauh dan ku gantikan dengan rasa kesal yang amat sangat karena ia telah mengambil setengah hak payungku serta membuatku telat. Gerbang telah tertutup rapat. Sang satpam yang telah berkawan denganku dalam urusan ini sedang cuti karena istrinya melahirkan.

Payung itu kini telah terlipat rapi dan telah bertengger di kantong tas ku. Gerimis memang masih mengguyur tapi setidaknya tidak intens tadi. Gilang sedari tadi hanya memangku kepala ditangannya, terlihat seperti berpikir. Aku yang panik hanya berjalan kesana-kemari di depan gerbang sambil mengintip-intip ke dalam, berharap ada guru piket yang berbaik hati membukakan gerbang ini. Tiba - tiba Gilang menarikku ke jalan kecil disamping sekolah, tempat rumah kumuh yang entah mengapa aku baru sadar akan hadirnya tempat ini.

"Lu mau nyulik gue kemana!?" tanyaku setengah berteriak karena takut akan diapa-apakan olehnya.

"Lu mau masuk kelas kan? Diem aja deh mending..." jawabnya setengah marah melihat kelakuanku yang menyebalkan. Aku hanya diam berjalan mengikuti perintahnya. Ia membawaku hingga berada di ujung jalan. Disamping itu ada pagar menjulang tinggi.

"Naik!" perintahnya membuatku membelalakan mata.

"Please deh... gue pake rok, span lagi..." aku menggerlingkan mata mendengar perintahnya yang menyuruhku naik ke atas sana. Hell no! Ia tau akan hal itu dan menyuruhku melakukan hal yang tak mungkin ku lakukan.

"Cewek tuh ribet banget sih..." ia mencibirku sambil berjalan mendekat kearahku. Ia menarikku kepelukannya. Sungguh, aku kaget bukan main. Ia sedikit menunduk lalu mengangkatku disebelah pundaknya,oke diulang biar ;ebih dramatis. Ekhm, DISEBELAH PUNDAKNYA!

Kau tahu? ia memanjat dengan mudahnya bagai spiderman, bahkan aku hanya memejamkan mata dan berdoa hingga ia menyadarkanku bila aku telah menapak di tanah di seberang tempat yang beberapa detik lalu tempat aku berdiri. Hal yang luar biasa.

"Ayo... keburu ketemu guru piket..." aku yang belum sepenuhnya sadar ditarik olehnya menuju ke koridor sekolah, dimana disana terdapat banyak murid berhamburan, melihatku dengan pandangan aneh, kaget, entahlah atau mungkin saja itu hanya perasaanku. Ia masih menggenggam tanganku hingga aku ingin berbelok kekanan dan ia ingin berbelok kekiri. Tangannya menggenggam kuat tanganku hingga aku hampir jatuh kebelakang. Ia melihatku, lalu melepaskan genggamannya dariku. Rasanya agak aneh saat dia melepaskan genggamannya.

"Eh, gue duluan ya... makasih payungnya..." ia langsung berbalik melangkah panjang. Entah mengapa kehadirannya yang begitu singkat dapat membuatku merasa kehilangan saat ia berjalan menjauh, hingga punggunggungnya tenggelam tertutupi murid lainnya yang berhamburan di koridor. Aku beralih melihat tangan kiriku yang cukup merah karena ulahnya, ada perasaan aneh yang mengalir begitu saja membuatku hanya mampu terdiam ditempat terakhir ia meninggalkan ku.

"Ra! Diem aja..." seseorang menepuk pundakku cukup keras membuatku mengaduh ria. Aku berbalik melihat perempuan berkuncir kuda dengan poni khas yang tersusun rapih menutupi jidatnya.

"Apaan sih? Sakit tau..." jawabku melihatnya malas lalu kembali berjalan menuju kelas.

"Ih kok baper sih... lu telat ya?" ia berjalan disebelahku hingga ke kelas. Aku tak menjawab pertanyaannya karena ia jelas tau bahwa aku baru saja datang dan bila didefinisikan secara singkat dan jelas, hari ini aku datang telat.

Aku duduk menutup mata rapat lalu menghembuskan nafas berat merasa tak nyaman karena sepatuku yang basah. Baru saja menikmati atmosfer yang terasa nyaman ini, tiba-tiba seseorang memukul mejaku membuatku dengan terpaksa membuka mata.

"Lo ada hubungan apa sama Gilang!?" tiba-tiba perempuan berdandanan heboh berteriak padaku, membuat semua murid yang ada di koridor mendesak masuk ke dalam kelas ataupun mengintip-intip dari jendela. Bisa kupastikan itu.

"Hah?" aku yang tak mengerti omongannya melihatnya ragu sambil menyeritkan alis.

"Gausah pura-pura gatau gitu deh.. gue punya mata!!" tantangnya lagi semakin menjadi-jadi.

"Woi!! Santei dong!! Gausah mukul - mukul meja! kaya mau marawisan aja!" Tasya yang terkenal frontal langsung unjuk gigi melihat kedatangan tamu yang tak diundang ini.

"Baru kelas 10 aja udah belagu!" tiba - tiba antek-antek yang berdiri di belakangnya juga ikut unjuk gigi. Melihat hal itu aku makin geram. Siapa yang tak geram mengingat aku baru saja merasakan kenyamanan dan  kemudian kenyamanan itu diganggu oleh para manusia pengutuk macam mereka.

"Eh denger ya! Gue gatau lu siapa dan gue gamau tau lu siapa tapi yang penting jauhin Gilang gue!" perempuan berdandan paling hebohmenyerukan suaranya membahas lagi tentang Gilang, yang kemudian bisa kita artikan kalau ia adalah ketua geng tak tahu diri ini.

"Pertama, gue juga gatau lu siapa... Kedua, gue juga gamau tau lu siapa... Ketiga, gue gatau maksud lu apa... Keempat, gue ga kenal yang namanya gilang... Kelima, lo ganggu tau gak!?" jawabku yang sedari tadi diam. Aku melihat ia menggertakan gigi melihatku garang.

"Gue gabuta! Gue tadi ngeliat lo pegangan tangan sama dia!" ia menarik tangan kiriku membuatku tersadar apa yang sedari tadi ia bicarakan.

"Gue juga tau lu ga buta... tapi tolong ya sebagai 'pemilik Gilang' lu beliin dia payung... jangan numpang ke gue, baju gue jadi basah ngerti?!" jawabku memberikan penekanan pada suatu kata. Ia melihatku tajam seakan mengancam keberadaanku.

"Urusan gue sama lu belum selesai... Inget! Gue senior disini.,." ia menunjukan sesuatu di lengan kirinya yang bertuliskan '12' dalam angka romawi lalu berbalik, melangkah keluar kelas.

"Gue tau kok lu senior... keliatan dari mukanya... TUA!!" Tasya berteriak mengiringi kepergian mereka. Anteknya yang sedari tadi tak bersuara melihat Tasya dengan sinisnya. Aku kembali duduk menarik nafas lalu menghembuskannya kasar, berusaha tidak memperdulikan tatapan-tatapan itu. Sungguh aku benci hari senin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang