2. Key ; Pendekar Papatong

37.5K 3.2K 392
                                    

Aku mengompres keningnya, duduk di lantai dengan dagu menempel ke sisi kasur, memperhatikan dia yang tampak kesakitan padahal sedang tertidur. Berkedip beberapa kali, memikirkan apa yang bisa kulakukan untuk meringankan sakitnya?

Mama Liesel yang mau menginap beberapa hari ini dibantu Fina membuat bubur di dapur. Katanya memang sejak tadi pagi Aldo tidak bisa memakan apa pun dan di pesawat juga sudah terlihat pucat seolah jetlag. Aku menyentuh tangan kanan Aldo yang terkulai, benar-benar panas. Kenapa demamnya tidak turun juga?

"Aldo ... cepet sembuh, ya ..." aku bergumam pelan. Mulai semakin khawatir. Dulu, sebelum Mama pergi juga badan Mama panas sekali. Mama muntah-muntah, beralasan itu cuma mag. Mama bilang pasti akan sembuh, tapi kenyataannya Mama justru pergi meninggalkanku selamanya.

"Al ... lo gak bakalan mati kayak Mama juga, kan?"

"Gue gak bakalan mati ..." kelopak matanya terbuka. Dia menoleh, menatapku nanar. Senyuman lemah dia ukirkan, genggaman tanganku di tangannya dia eratkan. Aku hanya memiringkan kepala sedikit, masih ketakutan dengan bayangan kematian dan perasaan semenyakitkan ditinggalkan. "Gue besok juga sembuh kok."

"Mama juga bilang gitu ..." aku mengulum bibir, kemudian menggigit pipi dalamku berusaha agar tidak menjerit. Aku meletakkan telapak tangan besarnya di pipiku, "tapi, Mama ninggalin gue."

"Jadi, lo gak percaya sama gue, hm?" Aldo mengajukan pertanyaan menjebak. Kalau aku bilang 'tidak', dia pasti merasa kecewa, kalau aku bilang 'iya', aku takutnya nanti aku yang justru dibuat kecewa. "Gue janji, gue gak bakalan cepet mati."

Aku mengangguk. Diam saja saat dia menarikku agar duduk di sisi kasur, dia menarik punggungku memerangkapku dalam dekapan hangatnya. Aku menyamankan diri di pelukannya, tersenyum tipis dan mempererat saat dia mengecup puncak kepalaku sekilas.

"Iya, lo gak mungkin mati." Tidak ada yang bisa kulakukan selain mempercayai semua hal yang dia katakan. Aldo tidak pernah sekali pun melanggar janjinya, dia selalu ada untukku dan tidak pernah sekali pun meninggalkanku.

Bahkan, disaat Papa kehilangan kepercayaannya padaku dulu, disaat Billy tersakiti karena kelemahannya dan meminta kami menjaga jarak untuk sementara, disaat semua orang menyerapah agar aku cepat mati saja~

Aldo satu-satunya orang yang memintaku untuk bertahan.

Dia tetap mempercayaiku, menginginkan aku terus hidup, melakukan banyak cara demi menyelamatkan nyawaku yang sudah di ujung tanduk. Dia ... berlari seperti orang kesetanan sambil menggendongku, menempuh jarak Dua kilometer demi membawaku ke rumah sakit. Yang tidak habis kupikir sampai sekarang adalah~

Bagaimana saat itu dia bisa melakukannya? Sementara, sebelah kakinya cidera parah terburuknya patah?

Yah, setidaknya, itu kisah klasik romansa yang diceritakan Papa tentang aku dan Aldo beberapa hari yang lalu.

"Aldo ... lo ma gue itu selamanya, kan?"

Hening. Aku mendongak, menatap wajah rupawan pucatnya kini dihias mata terpejam. Dia tidur lagi, ya?

Aku tersenyum tipis, meletakkan kembali pipiku di dadanya, mendengar irama jantung tenangnya yang benar-benar aku suka.

"Selamanya ..." gumamnya lirih, membuatku bahagia luar biasa.

***

"Oh, Pak Aldo sakit?" Billy mengangguk-angguk. "kapan matinya?"

"LO MAU GUE MATIIN DULUAN?!!"

Billy tertawa kesurupan. Dia memukul-mukul meja seolah melihat sesuatu hal yang lucu. Aku bersedekap, mendelik sinis padanya kemudian membuang muka. Dia mencolek lenganku, kutepis kasar kemudian memelototinya geram.

Yanderella Lovers (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang