Louis masih tak habis pikir kenapa sahabat karibnya tiba-tiba menelfon dengan tergesa. Tidak biasanya pemuda itu meminta bantuan secara mendadak ditambah lagi dirinya baru saja pulang kerja.
Pemuda itu memutar arah melewati jalan pintas terdekat untuk menuju rumah sahabatnya yang bernama Liam. Langkah kakinya berkurang ketika ponselnya berdering menandakan sebuah pesan masuk. Dan benar saja, Liam mengirimkan pesan agar Louis mempercepat langkah.
Kejadian selanjutnya yang membuat jantung Louis nyaris keluar dari tempatnya adalah insiden tubrukan yang tak terhindarkan antaranya dan seorang gadis berpenampilan lusuh dan menyeramkan.
Louis merasa bersalah saat ia sadar minuman gadis itu pecah, tapi disisi lain ia merasa tak bersalah karena jelas-jelas gadis itu yang tak melihat jalan. Louis tahu karena ia sibuk memegang pemantiknya dan rokok yang terselip di bibir gadis itu membuat Louis yakin kalau itu bukan kesalahannya secara penuh.
Mereka beradu argumen tapi akhirnya Louis mengakui jika dirinya salah. Bukan karena rasa takut yang menyelimutinya, melainkan rasa kagum yang seketika mendesak saat Louis menatap wajahnya sekilas.
Louis tak bisa berbohong jika gadis lusuh dan berantakan di hadapannya itu punya senyum yang memikat. Ditambah lagi Louis bisa mencium wangi mawar yang menyeruak dari tubuhnya. Ia tidak begitu buruk, setidaknya itu yang Louis tahu.
Seorang kasir yang melayaninya pun memerintahkan Louis agar lebih berhati-hati lagi dengan gadis itu. Disitulah Louis tahu, gadis itu bernama Marya Rose Gaudin. Pemuda itu merasa tak heran saat mendengar nama Rose di dalamnya mengingat bau gadis itu memang seperti bunga mawar.
Langkah kaki Louis seketika bertambah saat mendapati dirinya begitu terdorong untuk mengejar Marya. Jujur saja ini adalah salah satu dorongan teraneh yang pernah dirasakan. Memang apa gunanya mengejar seseorang yang telah berhasil memerasmu dengan cara membayarkan 3 botol minuman beralkohol sekaligus?
Louis tidak gila. Ia benar-benar mengikuti kemana gadis itu pergi. Tapi ponselnya seakan meraung-raung minta diangkat. Siapa lagi kalau bukan Liam yang menelfon? Louis benar-benar geram sehingga ia berani bertaruh jika Liam ada di hadapannya sekarang, mungkin pemuda itu akan langsung mencekik lehernya.
Marya pun hilang dari pandangan setelah Louis mereject panggilan ketiga dari Liam dan seketika hatinya mencelos membayangkan hal apa yang terjadi seumpama mereka benar bertemu. Louis membayangkan sebuah perkenalan singkat yang akan membawanya pada kedekatan dan hubungan yang serius. Tapi bayangan itu seketika sirna saat Marya lenyap dari pandangan tanpa menyisakan satu pun petunjuk. Harapan Louis seketika pudar.
* * *
"Demi Tuhan, cheezy head sialan! Apa yang kau lakukan dengan rentetan panggilan bodohmu pada ponselku?" gerutu Louis begitu pintu rumah yang baru saja ia masuki tanpa perlu mengetuk telah terbanting di belakangnya.
Liam yang awalnya terduduk di samping meja pantry seketika bangkit dan menatap sahabatnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Kau tampak kacau."
"Ya---karena kau, bodoh." Louis menjatuhkan bokongnya di atas sofa ruang tamu berwarna krem yang sangat nyaman dan empuk. Ia segera membuka jalinan tali sepatu dan menopangkan kakinya diatas meja dengan santai.
"Aku benci kebiasaanmu yang satu ini. Sampai kapan kau akan melupakan kaos kakimu?" protesnya. Louis pun menatap pemuda itu acuh lantas mendongakkan kepalanya menatap langit-langit rumah. Pikirannya melayang pada sosok Marya.
"Dude, coba jelaskan padaku bantuan apa yang kau butuhkan?" tukas Louis cepat pada inti permasalahannya. Ia memang bukan tipe orang yang suka bertele-tele. Sekarang Louis membutuhkan jawaban itu sesegera mungkin.
"Kau tahu London sedang tidak aman." Liam yang awalnya berdiri kini kembali duduk sambil menikmati seruputan kopi hitamnya.
"Lalu?" tanya Louis tak mengerti. Ia masih menatap keatas dan tak berusaha memalingkan pandangan.
"Aku mau meminta bantuanmu. Aku tahu kau pemegang senjata yang handal."
Louis mendengus kesal. Aku mohon, jangan katakan itu lagi. Batinnya.
Liam beranjak, ia meletakkan cangkir kopinya di atas alas lalu ikut menjatuhkan bokong di samping sahabatnya.
"Aku mengenalmu jauh sebelum teman kantor sialanmu itu mempengaruhimu untuk jadi bajingan, Louis." perkataan kasar itu meluncur begitu saja dari bibir Liam. Tapi anehnya Louis tidak marah, ia memang menganggap dirinya bajingan sejak awal dan Liam benar soal itu.
"Demi Tuhan, Liam---kau membuatku makin merasa bajingan saat mengatakan itu." Louis mengalah dengan mengusapkan kedua tangan menelusuri garis rahangnya yang tegas lalu menolehkan kepala pada Liam dan menatapnya sejenak sebelum menoleh ke depan. "Apa yang kau mau dariku selain keahlian dalam memegang senjata?"
"Aku hanya butuh itu. London mengalami rentetan pembunuhan, perampokan serta kejahatan seksual. Tahun ini angkanya semakin meningkat dan kami mulai kewalahan." Liam menjelaskan.
"Oh, jadi institusi sebesar kepolisian Inggris tak bisa mengamankannya?" entah nada sarkasme atau sekedar pertanyaan belaka, tapi Liam sedikit tersinggung dengan perkataan Louis yang satu ini.
"Bukannya kami tak bisa mengamankan, Louis. Kami butuh lebih banyak pasukan." terangnya dan Louis menyambutnya dengan anggukan kecil.
Louis dan Liam bersahabat sejak mereka masih kecil. Dulu mereka bertetangga tapi semenjak Liam bekerja sebagai polisi di London, ia memilih untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang tidak terlalu jauh dari kantornya.
Ada beberapa keunikan dari persahabatan mereka. Mereka tak pernah bertengkar soal perempuan (mereka punya tipe yang jauh berbeda). Dan hal lainnya adalah mereka bekerja untuk institusi yang bertolak belakang. Louis bekerja untuk agen rahasia illegal yang sering diburu kepolisian. Sementara Liam, ia mengabdi untuk negara dan menjadi pimpinan lebih dari 50 orang dalam institusinya.
Tapi Liam dan Louis tak pernah bertengkar karena perbedaan itu. Justru Louis akan dengan senang hati membantu Liam jika ia bisa. Liam pun tak pernah berusaha menangkap Louis atau menggagalkan rencana agen rahasia tersebut meskipun Liam tahu rencana itu melanggar hukum. Mereka saling menjaga rahasia satu sama lain.
Liam merupakan lulusan terbaik dari sekolah kepolisian terkemuka di London begitu juga Louis. Ia termasuk lulusan terbaik dari sekolah itu tapi sayang Louis tak mengambil kesempatan menjadi anggota kepolisian. Ia berpikir bahwa Liam jauh lebih pantas mengemban tanggung jawab itu.
Louis tak bisa mengelak jika postur tubuh Liam jauh lebih baik darinya. Tubuhnya atletis sejak masuk sekolah kepolisian. Ototnya mulai terbentuk makin besar. Perawakan tegap dan rambut coklat yang biasa dicukur cepak, matanya coklat dan tajam sehingga mampu membuat setiap orang patuh terhadapnya.
Louis berkorban untuk sahabatnya meskipun sejak awal Liam telah memaksanya untuk mengambil jabatan di kepolisian. Tapi memang dasar Louis yang keras kepala, ia lebih memilih bekerja untuk agen rahasia illegal yang penuh dengan resiko berbahaya.
"Kapan aku harus membantumu?" Louis memecah keheningan dengan menepuk pundak Liam perlahan.
"Aku akan menghubungimu lagi secepatnya."
"Li, apa kau pernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama?" Louis mengubah topik secara cepat. Otaknya langsung tersambung pada Marya dan bayangan yang menyertainya.
Liam menyeringai, salah satu tatapan yang paling dibenci oleh Louis. "Oh, pantas saja kau tampak kacau? Jadi sahabatku yang satu ini sedang jatuh cinta?"
* * * *
Betewe gue mau bilang kalo Freddie Reign Tomlinson itu unyu :') pokoknya Freddie mau gue jodohin sama adek gue deh :D
Congratulations Louis. Gue ga nyangka lo udah jadi bapak aja. Daddy daddy cool :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers ✖ l. tomlinson
Short Story❝ He's got his gun, he's got his suit on She says, "Babe, you look so cool." ❞ [ A Louis Tomlinson fanfiction, written in Bahasa Indonesia ] Copyright © 2015 by paynefiction. All Rights Reserved