Ini tentang Ibu.
Tentang wanita hebat yang selalu berada di sisiku. Tentang wanita yang tidak menyerah meski hidup menyengsarakan hidupnya. Tentang wanita, sesosok Ibu, yang akan memarahiku jika aku pulang maghrib dan dalam keadaan kotor. Tentang wanita, dengan rambut yang mulai beruban dan senyum simpul yang indah.
Dokter dan Suster berkasak-kusuk di dalam kamar inap Ibu, berbisik: sebentar lagi waktunya... kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, donor tulang sumsum-nya tidak ada. Aku hanya diam, mencoba mengerti arti bisik-bisik itu namun aku menepisnya untuk kumengerti. Aku hanya menatap dedaunan yang mulai berguguran satu persatu karena ditiup angin kencang.
Ibu selalu bilang, daun yang gugur menandakan pelepasan. Tidak selamanya pohon yang kokoh bisa menggenggam erat para daun yang ada di tangkainya. Seperti itu pula manusia. Mengalami pelepasan dalam hidup mereka. Satu persatu, orang yang ada di dalam hati mereka, berguguran lalu mengendap di sisi yang agak jauh. Membentuk pelepasan absolut. Membuat luka. Membuat kenangan.
Namun, daun yang gugur, akan tumbuh lagi di tangkai. Seperti itu juga lah manusia, akan didatangi sosok yang baru, membuat rasa cinta yang lebih kuat dari sebelumnya.
Aku selalu ingat sentuhan tangan Ibu yang hangat saat menepuk kepalaku karena aku sudah menjadi anak yang baik. Aku ingat tatapannya yang tidak mudah menyerah. Aku ingat cara makan Ibu yang pelan dan menikmati meski kami hanya makan sambal dan garam.
Dan aku pun bertanya-tanya... apa aku sudah benar-benar menjadi anak yang baik? Apa Ibu bangga padaku? Apa aku telah membuat Ibu bahagia? Apa Ibu menyukai dengan apa yang kuberikan padanya? Atau aku malah belum memberikan apa-apa padanya?
Lima tahun yang lalu, Ayah pergi merantau ke negeri orang untuk bekerja. Setahun kemudian Ayah kembali. Bukan dalam keadaan yang baik, bukan dalam keadaan sehat, tidak ada senyum gagahnya yang tertampil untukku. Ayah pulang di dalam peti jenazah. Ayah meninggal. Kecelakaan di tempat kerja.
Ibu mengajakku naik ke atas atap rumah untuk menenangkanku. Mendudukanku di salah satu kursi reot yang ada di dekat susuran. Hari itu masih pagi, subuh menjelang pagi. Saat matahari muncul di cakrawala, Ibu mendongakkan kepalaku. Memperlihatkanku keajaiban Tuhan. Ibu bilang kalau matahari terbit adalah kesukaannya bersama Ayah. Mereka selalu bangun pagi, menunggu di jendela dan membiarkan semburat oranye menyusuri pelan-pelan setiap atap rumah.
Bagian terbaiknya adalah ketika semburat oranye itu berubah makin pekat. Persis selai jeruk.
Ibu dan Ayah menamainya marmalade skies. Langit-langit selai jeruk. Karena paparan sinar matahari yang menyinari langit pagi.
Ibu, apakah Ibu bahagia?
Ibu, tidak apa-apa mengeluh, karena aku tidak akan mengecap Ibu lemah.
Ibu, apakah aku sudah membanggakan Ibu?
Ibu, maaf kalau aku belum bisa membuat Ibu bahagia.
Aku bangkit dari kursiku, Suster Nova menyentuh tanganku dengan lembut. Dia pun berucap. "Sudah waktunya. Beri salam perpisahan. Ibumu pasti mau dengar."
Perlahan, aku masuk ke dalam kamar rawat Ibu yang sempit. Hanya kamar rawat inap ini yang bisa kubayar. Uang tabunganku bersama Ibu hampir habis untuk membayar semua perawatan Ibu selama kemoterapi. Ibu didiagnosis Acute Lymphocytic Leukimia. Jenis kanker darah akut. Padahal, siang itu Ibu sedang mengupas bawang untuk makan siang kami, dia terlihat sehat dan cantik.
Namun aku sadar. Ketika subuh datang, Ibu sudah harus pergi keliling ke rumah para tetangga untuk bertanya apakah mereka membutuhkan jasa cuci Ibu. Siang setelah makan, Ibu akan ke rumah makan Padang menjadi tukang cuci piring. Malamnya, Ibu akan pergi ke kafe-kafe untuk mencari botol bekas agar paginya bisa Ibu jual di penadah.
Ibu, apakah Ibu sakit karena aku?
Karena ingin membuatku bahagia?
Kenapa Ibu tidak menjadi egois?
Kenapa Ibu tidak membahagiakan hidup Ibu sendiri?
Aku membencimu, Bu. Aku merasa bersalah. Aku tidak pernah membuat Ibu bahagia.
Tangan Ibu dingin saat kugenggam. Tapi tetap terasa seperti Ibu. Tangan ini adalah tangan yang sering menjewer telingaku karena aku selalu lupa waktu kalau bermain. Di langit petang yang juga seperti langit selai jeruk, Ibu akan mengoceh panjang lebar karena aku membuatnya kuatir.
Aku tahu, Ibu. Aku juga mencintai Ibu. Ibu mengoceh, menjewer dan marah karena Ibu mencintaiku. Aku selalu tahu itu, Ibu.
"Bu, apa Ibu bahagia?" tanyaku, berbisik lirih di telinganya.
Ibu membuka matanya perlahan-lahan. Dia menatapku untuk beberapa saat, bingung karena tidak mengenaliku akibat efek obat. Kemudian, beliau tersenyum. Mengangguk lemah tanda mengiyakan.
Apakah Ibu kembali berbohong untukku? Berpura-pura bahagia agar aku merasa lebih baik?
Waktu Ibu ngelihat kamu lahir, Nak, itulah sumber kebahagiaan Ibu. Kamu nggak usah berusaha membahagiakan Ibu, karena melihat kamu bahagia sudah membuat Ibu juga bahagia.
Aku menangis, membiarkan air mata membasahi pipiku. Kugenggam erat tangan Ibu, tidak ingin melepaskannya pergi. Tapi, Ibu adalah daun yang siap terbang. Yang siap mendarat jatuh di sisi lain hatiku, agar bisa kukenang.
Ibuku bahagia. Ibuku sangat cantik. Ibuku luar biasa.
Ketika langit subuh berubah menjadi langit selai jeruk, malaikat mengelus wajah Ibu dan membawanya pergi ke Surga. Senyumnya yang menawan, tertampil lembut di bibirnya.
Ibu.
Satu kali pelukkan lagi. Satu kecupan lagi sebelum tidur. Satu kali ucapan kata cinta. Satu kali tatapan lagi, Bu. Satu kali lagi saja.
Kumohon.
***
For Bunda. Thank you for everything. I wish you happy in heaven.
KAMU SEDANG MEMBACA
KumFlaFi!
RandomKumFlaFi (adj): Berupa kumpulan Flash Fiction. Berisi tulisan-tulisan dengan cerita yang singkat. Hanya beberapa lembar dan beberapa ribu kata. Hampir mendekati cerita pendek, namun flash fiction lebih pendek lagi. Juga menceritakan beberapa kronolo...