"Langit, Kamu melanjutkan sekolahnya di sekolah yang berasrama ya! Ayah dan ibu sudah mendaftarkanmu di salah satu sekolah berasrama terbaik!" Suara ibu bagaikan petir di siang bolong yang menyambar telingaku, tepat saat aku datang kembali ke rumah dari sekolah setelah pengumuman kelulusanku. Belum aku menyelesaikan tarikan nafasku yang pertama di ruang keluarga ini, tapi aku telah diberondong dengan hal yang begini.
Aku bahkan belum memberitahu mereka bagaimana hasil ujian nasional yang aku peroleh. Apakah aku lulus atau tidak? Aku tidak diberi kesempatan untuk mendengarkan pertanyaan yang seperti itu. Ini hanyalah pemberitahuan formal belaka, melihat mimik dan ekspresi yang diperlihatkan oleh Ayah dan Ibu di wajah mereka. Seperti mengatakan bahwa ini keputusan yang sudah final. Mutlak. Tak dapat diperdebatkan lagi. Apapun alasannya.
Menghempaskan pantatku di sofa dengan sedikit merasa kesal, aku menatap Ibu dan Ayah bergiliran. kemudian beralih ke meja. Di sana ada berkas-berkas yang aku yakini itu pastilah berkas untukku masuk ke sekolah berasrama tersebut yang katanya salah satu yang terbaik.
"Bu, aku bahkan sudah diterima di sekolah favorit tanpa harus ikut tes. Sekolah yang setiap tahunnya lebih banyak menolak siswa ketimbang menerimanya." Aku mencoba berargumen, mencari celah apapun yang bisa aku temukan.
"Ya, Ayah dan Ibu tau. Tapi kamu tidak akan sekolah di sana. Kamu akan sekolah di sekolah yang telah ayah dan ibu putuskan." Ayah berbicara tanpa mau adu argument lagi. Sepertinya percuma saja bagiku mengajak mereka untuk berdiskusi ketika keputusan itu telah diambil bahkan sebelum diskusi itu dimulai.
Aku berdiri. Tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Bukannya menyerah, aku telah kalah bahkan sebelum melakukan apa-apa, melihat sikap ibu dan ayah selama ini.
Aku adalah anak satu-satunya di keluarga ini. Tak ada kakak, tak ada adik. Tapi lihat sekarang, aku ditendang pergi untuk masuk ke sekolah yang mengharuskanku untuk tinggal di asrama. Apa aku bukan anak kandung mereka? Apa aku ini hanya anak adopsi? Tapi itu tidak mungkin, kalua kaliam melihatku jelas sekali bahwa terlalu banyak perpaduan antara ibu dan ayah yang terdapat pada diriku.Ahhhg.., mungkin mereka mau mengambil bulan madu lagi tanpa harus merasa terganggu dengan keberadaanku. Sehingga mereka bisa mendapatkan adik kecil untukku. Karena itu mereka membuangku seperti sekarang ini.
Aku tidak bisa membanggakan perolehan nilai yang aku dapatkan dari Ujian Nasional yang telah aku ikuti. Bukannya menyombongkan diri atau apa, tapi aku memperoleh nilai tertinggi. Aku juga telah memilih dan dipilih untuk melanjutkan sekolah di sekolah favorit yang telah lama aku incar. Aku tidak perlu ikut tes untuk dapat masuk di sekolah tersebut.
Namun tidak ada artinya lagi sekarang jika aku harus masuk ke sekolah yang telah dipilihkan oleh kedua orang tuaku. Sekolah yang tidak pernah aku lihat profilnya bagaimana. Bagaimana kualifikasi dan sebagainya. Aku belum tau. Lebih dari apa pun juga, itu adalah sekolah berasrama. Tiba-tiba saja entah kenapa aku jadi merasa sedikit lelah.
"Aku ke kamar dulu bu, yah." Aku beranjak membawa bokongku ke kamar setelah meminta izin pada ibu dan ayah. Mereka hanya berguman sebagai pertanda izin yang mereka berikan.
***
Orang-orang terdekat memanggilku biasa dengan sebutan Ngit. Lengkapnya Langit, Langit Purnama Setiawan. Jelas terdengar seperti nama yang sangat pasaran. Jika kau menanyai orang-orang yang kau temui di jalan, akan ada banyak yang mempunyai nama sama denganku. Langit. Dan itu bukanlah hal yang mengejutkan. Tidak ada yang spesial sama sekali dari namaku. Pernah aku tanyakan pada ayah alasannya kenapa memberiku nama Langit, dan jawabannya sangat simpel saat itu. “Hanya karena ayah ingin. Apa ayah tidak boleh memberimu nama Langit? Kau tidak menyukai namamu?” Setelahnya aku menyesali kenapa aku pernah bertanya hal yang akan mendapatkan jawaban tidak menarik ini dari ayah. Jawaban yang diberikan seperti ayah-ayah pada umumnya jika anak mereka bertanya perihal nama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROMANCE: Jungkir Balik Kehidupan Cowok Penghuni Asrama
Teen FictionPaling tidak kita punya seseorang di masa lalu yang membuat dada kita terasa sakit ketika mendengar namanya saat ini, karena dulu kita menyukainya secara diam-diam. Namun kita masih saja mempertahankannya tetap berada dalam hati kita. Kadang kita m...