Classic

226 3 0
                                    

Mungkin.

Cuma ini yang bisa kulakukan, atau mungkin memang satu-satunya hal yang bisa kulakukan.

Klasik, bukan?

-

Namaku Meisya, dan nama panjangku Meisya Adiputra Rahma. Aku tercatat sebagai satu dari ratusan siswa-siswi kelas 9 di salah satu SMP swasta di kotaku. SMP yang kumasuki ini mungkin bukan SMP favorit, tapi kehangatan dan sesuatu yang berbeda terasa menguap dari sana, mengusikku atau mungkin membujukku untuk menjajaki kaki ke SMP itu. Tergoda aku untuk menemukan hal baru disana, dan aku pun nekat mencoba peruntunganku, di SMP ini. Tak kusangka, aku dengan mudahnya diterima disini. Dan aku pun senang, senang sekali. Seperti yang bisa kau bayangkan ketika kau mendapatkan sesuatu yang sudah lama kau idam-idamkan. 

Tapi jujur, SMP ini bukan SMP idamanku. Sama sekali.

Auranya terlalu kuat untuk menyedotku kesana. Dan aku pun sudah berpikir, mungkin takdir yang melayangkanku kesana.

-

Masa-masa kelas 7 dan 8-ku berlangsung dengan mulus, semulus jalan yang biasa kulalui ketika hendak pergi ke sekolah. Teman-teman yang mengasyikkan, guru-guru yang menyenangkan, dan sederet kesenangan lainnya yang entah sampai kapan akan berakhir. Dan kuharap takkan pernah berakhir.

Hari ini, awal masuk kelas 9. Kelas yang paling menakutkan, karena ambang ujian dan pintu gerbang SMA sudah terlihat sangat jelas. Aku takut, dan ragu tentunya untuk meninggalkan masa-masa yang sudah terlampau menyenangkan di SMP. Tapi Tuhan sudah mengatur semuanya sedemikian rupa, dan aku sudah harus siap dengan konsekuensi itu.

Aku duduk di dekat jendela, dan menatap lekat-lekat pemandangan taman melalui jendela. Sudah kebiasaanku duduk di dekat jendela sejak kelas 7.

"Haaai," suara seseorang terasa bergema di telingaku. Aku menoleh, ternyata Riska, soulmate sekaligus chairmate dari kelas 7, tak kusangka kali ini dia akan sekelas denganku.

"Riskaaa!!! Ya ampuuun... kenapa kamu enggak bilang kalo kamu di kelas 9.1, sih!?" pekikku senang sekaligus kesal,  karena kebiasaan jelek Riska. Selalu mendadak datang dan pergi. Tidak memberikan informasi dari sebelumnya.

"Sori deh! Kamu kan tau, sifatku gimana,"

"Sifat sih sifat, tapi harusnya bilang dong. Bikin kaget aja," aku memukul lengannya pelan. Sementara dia hanya tertawa-tawa sambil memamerkan giginya yang berbehel warna pink itu. Sebenarnya menurutku Riska tidak tonggos sekali, tapi mungkin karena dari awal dia sudah berniat memasang behel, jadi begitulah. Behel yang selalu berganti warna tiap bulan itu sukses bertengger di giginya untuk beberapa waktu kedepan.

Kami habiskan saat-saat kosong itu dengan mengobrol seru. Riska selalu up to date dalam berbagai informasi, dan aku selalu mendapatkan informasi baru darinya. Mulai dari teman sekelasku dulu sudah jadian dengan kakak kelas yang sudah lulus, sampai warung mi ayam yang akan buka di depan sekolah. Dia bagai internet, dengan cepat mengetahui apa yang sedang terjadi, aku saja tidak peduli.

"Btw nih, kelas 9.1 bakal kedatangan murid baru, lho," Riska kali ini sedang asyik mencomot kripik pisang yang entah dia dapat darimana.

"Masa? Cewek atau cowok?"

"Yang kutahu sih cowok. Dari Jakarta," ujarnya singkat. Aku manggut-manggut, masih belum tertarik dengan oborlan ini.

"Eh, eh. Kamu sekarang lagi suka seseorang, ga?" pertanyaan itu langsung saja melompat dari bibir mungil Riska. Spontan aku terkejut, hampir-hampir tersedak.

"Kayaknya belum. I'm too young too feel broken heart, karena bisa aja kan kalo orang yang kita suka ternyata malah ga suka sama kita atau bahkan jadian sama orang lain?"

ClassicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang