[1]

277 18 5
                                    

TENTANG HUJAN YANG SEBENARNYA
.
.

   Kelopak mataku kembali menutup, memejamkan kembali kedua bola mata ini. Rasanya, tetesan air hujan di luar sana sudah tidak lagi dapat membuatku tersenyum seperti sedia kala.

   Masih kuingat kemarin sore, hujan yang sama jatuh tepat di perkarangan rumahku. Aku menjulurkan tangan lewat jendela, membiarkan tetes-tetes kristal dari langit membasahi tanganku.

   Masih kuingat kemarin sore, ketika suara lembut keibuannya menyadarkan diriku. Saat aku sibuk memandangi air hujan.
"Nak, sudah cukup bermain airnya, ayo masuk." Ujarnya.

   Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Tatapan matanya yang begitu menghangatkan seolah menyelimuti mataku. Tangannya meraih badan kecilku, merengkuhku dalam kehangatannya.

   Kini dia memelukku lagi erat-erat. Ini adalah pelukan yang aku rindukan, sangat kurindukan sejak aku pergi dua tahun yang lalu.

   Masih kuingat tadi pagi, gerimis kecil turun saat aku menemaninya pergi membeli bahan makanan. Berjalan beriringan membawa keranjang, hingga sampai di perempatan jalan. Perempatan yang merenggut kehangatan hujanku.

   Masih kuingat tadi pagi, teriakan kencang dari warga kanan kiri. Melihat tubuh yang bersimbah darah, aku termangu. Inikah akhir senyum lebarku?

   Kali ini hujan turun lagi, seolah mengerti perasaanku. Kuulurkan lagi tanganku keluar jendela, kali ini air itu tidak dapat membasahi tangan kecilku.

Aku mencintai hujan, dengan segala kesejukkannya.
Aku mencintai hujan, dengan segala aroma dan gemericiknya.
Aku mencintai hujan, tapi tidak dengan segala kenangan yang terikat di dalamnya.

PluviophilèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang