Vincent bersiul pelan, menelusuri trotoar yang sudah dilapisi salju putih. Ia memakai sebuah syal hitam yang menggantung bebas di lehernya dan mantel tebal hijau tosca yang terlihat hangat itu.
"Oh tidak," ia melihat jam tangannya. "Pasti sudah ramai," ia mengerutkan dahi dan mempercepat langkahnya. Ketika ia melihatnya, ia tersenyum. Toko kue Ma Fille. Oh Tuhan, masih jam delapan pagi, tetapi sudah tampak antrian panjang sekitar 10 meter didepan toko kue itu. "Sial."
Vincent hanya bisa menghela napas panjang dan mengantri bersama kerumunan manusia-manusia itu. Ia mengeluarkan handphone favoritnya dan tenggelam bersama melodi indah yang dimainkannya.
Seulas senyum langsung muncul diwajahnya. Entah kenapa, ia begitu menyukai lagu yang dimainkan oleh gadis itu. Ia memejamkan matanya sejenak, mengistirahatkan dagunya diatas syal hitamnya.
Tanpa sadar, ia sudah berada di paling depan barisan. Ia membuka kedua matanya dan membiarkan kedua kakinya untuk membawanya kedalam toko mungil itu. Toko itu cukup kecil. Namun, sangat hangat dan bernuansa Eropa lama.
Begitu Vincent menginjakkan kakinya ke dalam, ia dapat mencium aroma segar dari roti-roti yang baru saja dipanggang. Seorang pelayan perempuan menghampirinya, "Selamat datang Vincent! Oh, mencari kue natal?" tanyanya dengan penuh antusias.
"Ya. Untuk teman tercintamu itu. Dia selalu memarahi dan mengingatkanku untuk singgah ke tokomu ini. Dan dia titip salam kepadaku, katanya ucapkan 'halo' kepada Lucy," ucap Vincent dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada dan senyum usil di wajahnya.
"Katakan 'halo' kepadanya, ya. Dia sehat?"
"Terlalu sehat."
"Apa maksudmu itu?" Lucy tertawa. Ia mengambil dua loyang kue bulat dari dalam kulkas dan meletakkannya di atas meja kasir. Kue itu sudah dihias dengan krim biru malam, dengan taburan coklat dan stroberi. Dan yang lebih penting, terdapat tulisan, "Merry Christmas!"
Vincent tersenyum melihatnya, dan melirik ke arah lemari-lemari kayu yang berisi toples kue kering wana-warni. Ia tersenyum kecil dan memejamkan mata, lalu ia beranjak ke pintu.
Yah, itu sebelum Lucy mencegatnya. "Hei, jangan harap kue-kue itu gratis," dan itu membuat Vincent tertawa dan berbalik, meninggalkan beberapa lembar uang kertas dan menaikkan satu tangan kosongnya. "Tentu aku tidak berharap seperti itu."
Begitu ia beranjak keluar pintu, hawa dingin sudah kembali menyerangnya. Ia menaikkan syal hitamnya dan berjalan pelan menyusuri langit yang sudah menggelap.
* * *
"Oh, astaga, Vian! Kau membuatku iri!"
"Nanti aku pinjam ya, Vian! Boleh ya, boleh ya!
"Wah, wah,"
"Terlalu besar,"
"Hahahaha,"
"Vian! Nanti ceritakan padaku, ya!
Vian tidak begitu mendengar banjiran kata-kata dari sepupu-sepupu dan orang tuanya. Toh, ia masih harus berurusan dengan petugas paket yang membawa boneka kelinci putih raksasa itu.
Sepupunya dengan sukarela -- dan mungkin ia memang ingin menyentuhnya -- membawa pergi boneka itu ke ruang tamu. Vian menanda tangani surat-surat yang diberikan petugas itu dan kembali ke ruang tamu dengan membawa setumpuk surat dari kawan-kawannya.
"Astaga Vian, lihatlah betapa populernya dirimu!" Ucap sepupunya dengan nada bercanda. Vian tertawa dan mengibaskan satu tangannya, "Tidak, tidak. Aku mengikuti banyak organisasi selama SMP, mungkin itu sebabnya."
Vian segera menghindar dari kerumunan keluarganya dan berdiam diri di kamarnya di lantai dua. Ia perlahan membuka suratnya satu per satu, dan ia tersenyum. Hampir semuanya berisi ucapan selamat natal, dari pengirim yang cukup beragam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Christmas Special
Short Story[Bahasa Indonesia] "Oh astaga," Vianni Laryssa, gadis ini sampai lupa menarik napas. "Dunia terlalu banyak kejutan," gumamnya dengan suara pelan. Vian tersenyum ke arah tukang pos itu dan berterima kasih padanya. Pasti, jika setiap hari adalah hari...