Pembunuhan Ritual - (Ibu, Maafkanku Yang Telah Membunuhmu)

2K 100 24
                                    

Ada satu fragment memory yg ingin sekali kuhapus dari ingatan, yaitu ketika aku beserta seluruh penduduk desa, bersama-sama membunuh ibuku di ritual tahunan larungan, tiga tahun yang lalu. Ah, kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk menghapus memori itu. Aku tahu, saat itu sebagai bocah seumur 10 tahun seperti aku tak mungkin bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan ibu yang t ditunjuk untuk mengorbankan nyawanya. Aku masih ingat pandangan matanya yang nanar menyimpan kesedihan dan ketak-berdayaan. Pandangan kosongnya seolah memohon ampun dan kelonggaran, tapi tradisi kuno nenek moyang di kampung kami dipegang sangat erat, sama sekali tak ada kelonggaran. Sebenarnya aku mengalami konflik batin dalam hati, ketika kami membawa ibu menemui menit-menit terakhirnya, tapi aku hanya bisa diam, memendam dalam-dalam konflik batin saat itu. Indoktrinasi yang bertahun-tahun membuatku untuk mengikuti budaya turunan tanpa pertanyaan. Sama halnya dengan seluruh penduduk desa, tak pernah ada yang berani untuk mempertanyakan kenapa kami harus mengirimkan seorang jiwa untuk dikurbankan tiap tahun. Sang pelaku korban sama sekali tak melakukan kesalahan apapun, siapapun bisa kena tunjuk untuk menjadi kurban, termasuk anak-snak. Setahun sebelum ibuku, korbannya adalah Margi, teman mainku yang waktu itu masih berumur 8 tahun. Keyakinan semua orang tertanam sangat dalam bahwa persembaan satu nyawa manusia untuk dewi laut, adalah harga yang murah sebagai imbalan atas karunia ikan yang bellimpah dan perlindungan desa kami dari gelombang pasang tsunami yang ganas.

Aku dulu tinggal di desa nelayan di pelosok terpencil pesisir laut selatan. Jangan coba cari di peta atlas indonesia atau di google maps, tak ada disitu. Hukum adat melarang kami untuk berinteraksi dengan dunia luar. Tak sampai seratus kepala keluarga yang tinggal disana, tak pernah ada pendatang. Kau lahir disitu, kawin dengan anak gadis tetanggamu, dan kau mati disitu. Tak pernah ada yang mencoba pergi dari desa itu, hukum adat akan menjatuhkan hukuman berat jika ada yang berani mencoba meninggalkan komunitas eksklusif desa kami. Seluruh kepala keluarga dan anak laki-laki yang beranjak dewasa, semua berprofesi sama, yaitu menjadi nelayan. Dan entah karena karunia dewi laut atau letak geografis, tangkapan ikan selalu bagus dan melimpah. Hasil tangkapan ikan itu, secara kolektif disetor dan diatur oleh kepala desa untuk dijual. Seminggu sekali, seorang tengkulak kenalan pak kepala desa, datang dan menghentikan mobil pickup bututnya di pinggiran desa, karena mobil dilarang masuk. Oh ya, banyak sekali yang dilarang masuk ke desa kami: mobil, orang luar (kecuali punya urusan), radio dan segala barang elektronik, bahkan koran dan majalah, tak ada yang boleh masuk. Semua itu untuk menjaga kemurnian budaya kampung dan nilai-nilai yang sudah turun temurun. Ajaran turun-temurun dari nenek moyang ini sangat dianggap sakral, tanpa ada yang berani mempertanyakan. Diyakini, bahwa hubungan dengan dunia luar akan merusak nilai dan tatanan masyarakat. Di pucuk hirarki pimpinan desa, adalah pak kepala desa dan tetua kampung, seorang dukun yang mungkin sudah 100 tahun umurnya. 

salah satu ajaran sakral adalah upacara "larungan", yang selalu diadakan ketika bulan purnama penuh di bulan "larung". Memang kami punya sistem nama-nama bulan yang berbeda dengan kalender biasa. Mirip seperti kalender jawa, dengan nama bulan seperti rejeb, sapar dan lain-lain. Sistem kalender itu hanya beberapa petinggi desa yang mengerti. Pak dukun tua selalu tahu beberapa hari sebelum bulan purnama penuh akan terjadi, dan hari terpenting seluruh tahun itu akan diumumkan beberapa hari sebelumnya. Pada hari larungan tersebut, semua penghuni akan hadir tanpa kecuali. Sebelum matahari tenggelam, semua orang akan memenuhi pelataran di depan balai desa. Kemudian, para istri akan memanggil anak-anak mereka yang berlarian sibuk bermain, agar mereka berkumpul bersama satu keluarga. Acara diawali dengan pidato pak kepala desa yang berpanjang lebar menghaturkan terima kasih kepada dewi laut atas segala karunia dari laut yang menghidupi mereka. Kemudian, pak dukun tua merapal kalimat-kalimat dari buku kuno yang bahasanya aku tak mengerti. Setelah itu, pak kepala desa yang hafal nama-nama seluruh kepala kelarga, dengan lantang memanggil mereka satu per satu untuk berkumpul didepan. Ada satu peti yang kelihatannya sudah beratus-ratus tahun umurnya. Di dalamnya, tersimpan kartu-kartu yang terbuat dari kayu, besarnya masing2 sekitar ukuran telapak tangan. Jumlah kartu selalu sama persis dengan jumlah penduduk seluruh desa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pembunuhan Ritual - (Ibu, Maafkanku Yang Telah Membunuhmu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang