Part Satu

92 15 7
                                    

Gadis itu membereskan semua buku-buku yang dibacanya. Ia menumpuk buku-buku tebal itu dan mengangkat semuanya sekaligus. Tumpukan buku itu hampir saja menghalangi pandangannya. Tapi ia kelihatan tak peduli. Ia malah kelihatan marah. Sekilas mungkin orang-orang akan berpikir bahwa gadis itu mungkin membawa buku-buku itu karena dihukum, atau sebagainya. Tentu saja itu disebabkan oleh penampilannya yang kelihtan seperti gadis normal lainnya. Bukan nerd yang sangat tergila-gila, bahkan sampai rela menimbun diri dengan buku.

Gadis itu dengan cekatan mengembalikan semua buku-buku itu kembali ke rak. Ia menyisakan tiga buah buku yang kelihatannya ingin dia pinjam. Ketiga buku itu dibawanya ke seorang petugas perpustakaan yang sibuk memeriksa indeks buku.

"Aku ingin meminjam ini."

Petugas perpustakaan itu mengangkat kepalanya, "Ah, Lily. Lama sekali tidak melihatmu di sini. Apakah sekarang kau sudah berkencan?"

Lily tersenyum singkat, "Mana mungkin, Venes. Kau sendiri? Masih sendiri?"

"Kau tahu siapa aku. Aku bisa menggaet pria manapun hari ini. Sayang tak ada yang membuatku tertarik." Venes menjawab dengan mimik sombong.

"Aku percaya dengan pesonamu Venes." Kekeh Lily. "Jadi, apa buku yang kucari waktu itu ada?"

Venes mengingat-ingat sebentar, "Sepertinya ada. Tapi buku itu sudah di pinjam duluan. Kira-kira 15 menit yang lalu." Jawab Venes.

"Benarkah? Oleh siapa?"

"Aku juga tidak familiar dengan wajahnya. Tapi reaksinya saat melihat buku itu aneh, kau tahu. Dia kelihatan...lega." Ujar Venes. "Tapi, dengan wajah mempesona seperti itu, sepertinya sulit dibayangkan dia akan membaca sesuatu...yang seperti itu." Venes terlihat sedikit menahan tawanya.

Lily hanya mengangkat sedikit bibirnya saat mendengar ucapan Venes. Ia memasukkan buku yang sudah di catat Venes ke dalam ranselnya. Lalu tersenyum pada Venes, "Saat dia sudah selesai membacanya, bisa simpan buku itu untukku? Aku akan sering mampir ke sini."

"Tentu saja."

Lily melangkah menjauhi perpustakaan. Ia berjalan tidak tentu arah selama 10 menit, dan mendapati ternyata dirinya berada di pojok gedung fakultasnya. Ia pernah melewati tempat ini beberapa kali, tapi tidak pernah menelitinya lebih jauh.

Sepertinya tidak buruk jika aku juga melihat-lihat pojok kampus. Toh hari ini aku gak ada kerjaan.

Ia memandangi beberapa pintu kusam yang terlihat diabaikan. Penuh debu, kusam, dan kotor. Rumput-rumput liar juga sangat banyak di sini. Dinding-dinding penuh dengan graffiti yang tidak bisa dikatakan bagus atau jelek.

Lily meraih gagang pinntu itu, berusaha untuk membukanya. Terkunci. "Tentu saja." desahnya pelan.

Tak ada yang mampu menarik sedikit perhatiannya selain ruangan yang hendak di bukanya tadi. Maka, dengan langkah kaki gontai ia pun meninggalkan pojok sekolah.


***

Ray menghembuskan napas lega begitu tiba di atap gedung. Ia benar-benar kesal dengan ide ayahnya yang tiba-tiba memaksanya untuk masuk universitas. Ayahnya sendiri tahu, tak ada manfaat ynag didapatnya saat berada di sini. Ia sendiri sudah lebih pintar dari semua dosen yang ada di sini. Mendengarkan dosen menyampaikan materi yang sudah sejak lama diketahuinya benar-benar melelahkan.

Mate & HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang