Prolog Bagian 1

334 11 2
                                    

Ia menatap lurus ke arahku. Kali ini ia serius. Aku memutar badan mengalihkan pandangan. Aku tidak mau melanjutkan pembicaraan ini. Sayang sekali Raya adalah orang yang keras kepala, sebisa mungkin ia akan menarik keluar lidahku untuk berkata.

"Ya, aku pergi. Ikut," pintanya dengan nada manja. Inilah yang paling tidak bisa kuatasi saat berhadapan dengan Raya. Rasanya seperti ada yang memegangi kepalaku dan memaksaku manggut-manggut mengiyakan. Kali ini juga, aku membawanya menghadiri sebuah halaqah di daerah selatan Bogor.

Sama seperti saat terakhir kali ia kubawa ke halaqah serupa, Raya menghambur ke sana ke mari dan dengan akrabnya bercipika-cipiki dengan para akhwat peserta halaqah yang aku tidak tahu siapa dan dari mana asalnya. Aku kira ia hanya mengenal tiga perempuan dalam hidupnya, ibu kami, nenek kami, dan satu perempuan anak gadis tetangga sebelah. Jujur aku senang melihatnya bisa akrab dengan para akhwat.

Aku sendiri hanya mengenal tiga laki-laki di halaqah ini. Dudit, temanku asal Bandung yang sering meneror mengajakku ke berbagai halaqah. Agus, dia agak pendiam dan "takut" dengan akhwat. Satu lagi, Ustadz Zaenal pengisi materi halaqah.


Menanti SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang