Kajian Pagi Itu! 1

121 10 0
                                    

Perjalanan adalah sebuah ujian. Perjalanan adalah siksaan. Tapi di setiap ujung perjalanan, ada kemudahan. Ada kalam-kebahagiaan. Hikmah. Dari situ kita belajar. Belajar arti hidup, bahkan dari setetes embun yang terabaikan. Tidak, tidak ada yang terabaikan. Tidak ada kebetulan.

Hawa dingin menjalar hingga ke kepala, menjadikan tubuh malas teronggok sempurna di atas ranjang. Potret kecil Bogor masih terlelap. Pukul tiga tepat. Sedangkan ayam ponsel menggerutu sedari tadi. Ah, aku harus bangun. Malam tadi aku ingat betul ikrar bangun sepertiga malam akhir.

Aku beranjak dari ranjang. Membaca doa bangun tidur dan melesat ke kamar mandi mengambil wudhu. Lantas berpakaian rapi, koko yang baru dibelikan Ummi beberapa hari lalu dengan bawahan sarung motif kotak-kotak.

Sambil menguap kugelar sajadah serapi mungkin. Rasa kantuk masih menguasai, menolak untuk berkompromi. Tapi kata Ustadz Zaenal, kalau sudah baca doa bangun tidur, ambil wudhu dan shalat kita gak akan mengantuk lagi. Ah iya, aku belum shalat.

Setelah rapi sajadah itu, aku mengangkat tangan takbiratul ihram. Jujur saja, shalat malam dua rakaat malam itu, tidak ada getar terasa dalam hati. Tidak khusyu. Tapi lumayanlah untuk murajaah. Pagi ini hari pertama aku bekerja di kantor swasta.

Sehabis shalat aku menatap kosong gambar Kabah sajadah. Beberapa hari ini jadwal tidurku terganggu. Aku sering melamun entah apa. Kepalaku terasa penuh terjejali apalah itu. Bahkan yang paling parah, aku tidak bisa merasakan getar syahdu di setiap shalat, rasa takjub dalam setiap jalinan huruf bacaan Qur'an pun tak kena. Hilang entah kemana. Teman-temanku bilang itu futur. Tapi ada yang ganjil. Sudah dua minggu lebih, bahkan hampir tiga minggu sensasi itu menguap.

Sebisa mungkin kulakukan tips-tips yang kudengar atau kubaca di internet. Termasuk shalat malam tadi. Tapi sepertinya tak mempan. Aku tetap begini-begini saja. Tetap terbelenggu dalam lingkaran futur yang entah dimana ujungnya.

Hati terasa kosong. Padahal aku pernah dengar manusia itu disebut manusia karena hatinya. Apa aku bukan lagi manusia? Mungkin ada yang terlewatkan. Sesuatu yang penting.

Dua bulan lalu aku di wisuda. Sekarang sudah bergelar sarjana. Sebenarnya, sesuai cita-cita dan obsesiku aku ingin belajar di luar negeri. Entah dimana itu yang penting ada saljunya. Tapi setelah menimbang-nimbang aku putuskan untuk mencari pengalaman dulu. Abah juga menawari agar aku bekerja di kantornya. Karena aku takut itu KKN jadi aku tolak saja. Aku sudah mencari beberapa informasi dan tawaran beasiswa, bahkan sudah mendaftarkan diri. Jadi pekerjaanku nanti hanya sambilan saja.

Setiap habis shubuh jamaah di masjid seberang rumah ada kajian singkat dengan Ustadz Zaenal. Kebetulan Ustadz Zaenal tetangga kami. Rumahnya mengambil jarak enam rumah dari rumah kami. Tapi masih satu deret.

Pagi itu Ustadz Zaenal menyampaikan materi tentang hakikat laki-laki sejati. Memang para ikhwan sudah request materi itu sejak berhari-hari lalu. Pasti isinya soal urusan menikah. Kalau sudah begitu biasanya mereka semangat sekali. Kecuali aku, yang paling tua diantara para peserta kajian. Bahkan ada dua ikhwan yang sudah menikah dengan umur tiga-empat tahun di bawahku. Aku sih tidak buru-buru. Lagipula laki-laki itu tidak aneh bahkan baru menikah di umur tiga puluhan. Bukan sebuah masalah besar.

Menanti SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang