Aku pikir semuanya akan berakhir pada hari ini saja.
Hari dimana kamu akhirnya melepas masa lajangmu dan menikahi gadis lain yang tentu saja bukan aku. Aku ikut senang pesta pernikahanmu baik-baik saja bahkan cenderung meriah dengan banyaknya tamu yang hadir. Aku tidak iri, sedikitpun tidak."Selamat menempuh hidup baru ya."
Kamu berbisik tepat disampingku ketika aku baru saja bersandar pada sofa empuk berwarna merah marun di apartemenku. Aku menoleh, lantas mengamati seringgaian tipis di sudut bibirmu.
"Harusnya itu kalimatku. "
Aku pura-pura marah sembari membalik satu halaman komik shoujo yang berusaha aku selesaikan. Alih-alih mengejekku atau melakukan hal-hal yang biasa kamu lakukan, kali ini kamu justru menenggelamkan parasmu tepat dibahuku. Kamu nggak tau kalau itu berat ya?
"Kelamaan, padahal aku nunggu kamu ngasih selamat ke aku. Aku lihat di daftar tamu juga nggak ada nama kamu. Kamu benci banget sama aku sampai-sampai nggak dateng ke acara pernikahanku?"
Kamu masih sibuk menenggelamkan parasmu dibahuku. Benci? Bagaimana bisa aku membenci kamu, duniaku? Aku bahkan tidak tahu apakah aku sanggup menjalani hari-hari tanpa ada kamu didalamnya. Pernikahanmu bahkan adalah sesuatu yang menurutku pasti akan terjadi tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuk menghalanginya. Meskipun berkali-kali aku berteriak kepada diriku sendiri bahwa ini artinya aku harus merelakanmu, nyatanya aku tidak bisa. Boleh mengatakan sesuatu yang jujur? Aku bahkan menikmati hubungan ini.
"Oke deh diulang ya. Selamat atas pernikahanmu, semoga cepat dapat momongan."
Seketika kamu mendongak, memelukku erat dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi pada ujung suraiku. Detik berikutnya parasmu dan juga seringgaian tipismu memenuhi indera pengelihatanku. Kamu memang punya daya tarik yang menawan, semua teman sekelas kita tahu itu.
"Kalau begitu aku mau kado dong."
Kamu memelukku lebih erat, sementara manik legammu menatapku intens. Aku memekik--pura-pura sesak, sementara akhirnya tawamu pecah. Kalau dipikir-pikir kenapa tidak aku saja yang kamu nikahi waktu itu? Aku sering menanyakan hal yang sama berulang-ulang kali pada diriku sendiri. Apa aku kurang menarik? Tidak mungkin. Kalau istrinya cantik pasti dia tidak akan melakukan ini dan itu kepadaku.
"Kado apa?"
Aku bertanya, sembari menjauhkan diri dari kamu dan aroma mint maskulinmu. Alih-alih menjawab pertanyaanku, kamu justru menggenggam kedua tanganku.
"Menikahlah denganku tahun depan."
Normalnya aku mungkin akan menghujanimu dengan kata-kata buruk atau memakimu--adegan terburuknya mungkin aku akan menendang, mencakar atau menamparmu. Kamu sudah beristri. Kamu sudah menikah. Apa yang kamu lakukan? Seharusnya aku meresponmu seperti itu. Sampai akhirnya aku menitikkan air mata--entah untuk apa. Aku cukup bahagia dengan hubungan kucing-kucingan seperti ini, bahkan cenderung menikmatinya, apalagi saat berpapasan dengan istrimu di beberapa tempat. Itu hiburan. Dan tentu saja aku menjawabnya dengan kata 'Ya'. Kamu kembali memelukku dengan sayang. Siapa sangka kalau orang ketiga bisa begini beruntungnya?
Oh ya, tunggu saja sampai istrinya tahu tentang kabar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affairs
RomanceBanyak orang bilang orang ketiga tidak berhak bahagia. Nggak juga tuh.