Aku memandang langi-langit kamar asrama. Sejenak aku ingat dengan momen perkenalan yang memalukan itu. Aku berdiri di di depan kelas, di depan seluruh penghuni kelas yang semuanya memandang sebal ke arahku. Aku memperkenalkan diriku. Aku tidak melihat adanya wajah ramah yang memandangku. Aku mencoba tenang. Mataku berputar-putar menyusuri sudut-sudut kelas, senyum manis kusebar, tapi tak ada satu pun dari sekian banyak murid perempuan berambut pirang dan bermata biru yang merespon baik usahaku berinteraksi dengan mereka.
Pintu kamar asrama terbuka. Henrietta, Charlotte, dan Hailey masuk. Mereka mungkin melihatku, tapi pura pura tidak melihatku. Setidaknya itu yang kutahu saat ini. Aku memalingkan muka dari seragam menyebalkan itu. Sweter hitam bergaris merah dengan dasi merah bergaris kuning kenari. Rok hitam keabuan dan stocking hitam pula. Sangat Inggris sekali.
“Do you feel better?” Tanya Charlotte, si cewek berambut pirang dan bermata coklat menawan. Menurutku, hanya dia lah yang paling cantik di antara kepala berambut pirang, brunette, hitam, merah , dan putih yang kulihat di kelas tadi.
“Kami membawakan sesuatu dari aula untukmu,” sahut Hailey, si tinggi yang berambut hitam pendek dan bermata hitam besar. Aku selalu membandingkan dia dengan Alice Cullen dan berharap menemukan perbedaaan di antara keduanya.
Henrietta duduk di sebelah kasurku. Rambutnya yang merah keriting menciptakan kesan tersendiri bagiku. Dia tampak seperti Kate Winslet versi Victoria Cavendish. “Kami tidak melihat Claurance di aula. Dia pasti didetensi entah dimana.”
“Di suatu tempat di gedung ini.” Hailey menyahut lagi.
Hailey menyerahkan sebuah bungkusan dari tisu. Aku duduk dan menerima bungkusan itu. Charlotte bersandar pada lemari bajunya, Hailey berdiri di samping kasurku, dan Henrietta masih duduk di sebelah ranjangku. Aku membuka bungkusan itu. Sebuah pancake berwarna ungu muda dengan taburan kismis berbentuk bulan di atasnya. Aku tersenyum kepada tiga teman baruku.
“Kami memesannya dari Mrs. Bootler. Pancake di dekat gereja St. Paul pada musim dingin. Kau harus merasakan pancake musim dingin kami,” kata Charlotte tesenyum.
“Thanks, guys,” kataku. Aku tidak pernah lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada orang Inggris yang kutemui. “Aku merasa lebih baik, apalagi setelah kalian datang membawakan pancake ini.” Mereka tersenyum manis lagi.
“Kalau begitu selamat malam, Nuril,” kata Henrietta, lalu menyentuh keningku yang benjol. Aku mengaduh. Dia segera menarik tangannya sambil berkata “ I am sorry, I am sorry,” .
Aku terbangun saat mendengar suara bagpipe menggema di dalam kamar. Mrs. Bootler membangunkan kami dengan cara yang tidak biasa. Aku ingin marah saja, tapi apa boleh buat? Aku siswa pertukaran dan tak banyak yang bisa kulakukan. Seandainya aku tahu seperti apa City Of London School for Girls sebenarnya, aku tidak akan pernah masuk ke sini. Aku dan teman-temanku sekamar segera bersiap ke aula untuk sarapan.
“Kau pernah belajar bahasa perancis, Nuril?” Tanya Charlotte. Dia hanya mengambil selembar omelette dan segelas susu.
“Aku belajar bahasa Arab,” kataku cepat. “ Je ne parlez francais”.
Semua yang duduk bersamaku terkejut. “Nuril, you’ve just talked in French, not arabic.” Kata Hailey.
“Benarkah?” aku balik bertanya. Aku masih merasa sebal dengan cara membangunkan yang dilakukan Mrs. Bootler tadi pagi. Aku baru dua hari di sini, di salah satu kota metropolitan paling terkenal di dunia, London. Aku di jantung kota London sekarang, tapi aku tidak bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Victoria Cavendish
Teen FictionNuril akhirnya berhasil menjadi siswa pertukaran di kota impiannya, London. Ia bersekolah di City of London School for Girls, sebuah sekolah khusus anak perempuan dan tinggal bersama teman-teman barunya di asrama bernama Victoria Cavendish. Namun me...