Ini adalah hidup di mana kau takkan bisa bersembunyi. Kematian akan selalu menghantuimu. Menunjukkan bahwa kau begitu dekat dengannya. Tiap jam, tiap menit, tiap detik kau menghirup napasmu yang terengah-engah. Kau sedang bersembunyi di antara suara-suara mengerikan. Kau mencoba untuk tenang walaupun hatimu panik. Mereka tak akan segan-segan menerkammu dalam hitungan detik. Kau bertanya-tanya. Berapa lama lagi kau akan hidup? Malah, sebagian darimu mencoba mengakhiri dengan menelan racun atau terjun dari gedung pencakar langit. Apapun itu, asal tak berakhir dengan tubuhmu yang tercabik-cabik menyakitkan.
Kau tidak siap untuk ini, kau tidak lahir untuk situasi mengerikan ini. Jantungmu berdetak seperti bunyi drum yang menggila. Begitupula pikiranmu yang panik. Kau tentu tak ingin berakhir seperti mereka. Kau harus berjuang suka atau tidak. Membunuh atau dibunuh, itulah semboyan hidupmu saat ini.
"Ibu, Anisa lapar..." sebuah suara membuyarkan kegiatan menulisku. Seorang gadis kecil berumur lima tahun menggenggam erat ujung kaosku, sedikit menariknya. Matanya yang bulat dan berkaca-kaca menatapku. Kasihan, rupanya kornet sore tadi tak bisa membuatnya kenyang lebih lama. Padahal kuberikan lebih banyak porsi untuknya. Membuatku merasa bersalah ikut makan hari ini.
Aku mengubah posisi duduk sebelum mengelus rambut hitamnya yang halus dan sedikit berdebu. Menatapnya sayang, "Anisa, matahari sudah terbenam. Kau tahu 'kan artinya? Ah, ini ada permen karamel."
Anisa mengangguk sebagai jawaban selagi kuambil permen dari saku celana, "Ya, walaupun ini tidak membantu, sih. Sebaiknya kita tidur, nanti laparnya juga hilang."
Anisa memandang permen di telapak tangannya dengan murung. Bibirnya terkantup rapat. Kesedihan tak pernah luput dari wajahnya. Aku ingin menangis melihatnya begitu menderita. Aku mencoba tetap tersenyum menguatkannya. Selalu kuucapkan bahwa kekacauan ini takkan berlangsung lama. Namun, sepertinya ia sudah cukup menelan ucapan yang tak pernah berujung pada kenyataan.
Aku mengambil pistol berperedam di meja. Namun tatapan terhenti pada secarik kertas yang kutulisi beberapa detik lalu. Aku menyobeknya menjadi beberapa bagian dengan pikiran berkecamuk. Aku harusnya berhenti. Aku harus berhenti menjadi penulis. Meskipun aku tak dapat menahan gairahku memegang pena barang semenit saja. Itu pekerjaan yang membuang waktu. Pekerjaan masa lalu yang harus dilupakan.
Dunia ini berubah semenjak manusia menjadi mayat hidup, tak punya akal sehat, kanibal. Mereka bahkan tidak pantas disebut manusia lagi. Tubuh mereka sudah membusuk. Kulit kepala mereka mengelupas di bagian tertentu. Hanya beberapa helai rambut yang menutupinya. Darah mereka kehitaman dan pekat. Tubuh mereka penuh luka menjijikkan. Kadang ada saja tangan, rahang, atau kaki yang terputus mengerikan. Namun selama mereka bisa, mereka akan terus mengincar kita. Jika sudah tergigit, pilihannya hanya ada dua. Menjadi makanan atau menjadi salah satu dari mereka. Mengingatnya membuatku benci mengungkit keluarga dan suamiku. Karena mereka semua memiliki akhir buruk yang sama.
Aku selesai mematikan semua lilin sebelum mengintip keadaan luar, memastikan semuanya aman. Kudekatkan mata di celah kecil papan kayu yang sengaja menutup jendela. Namun tak terlihat apapun, hanya kumpulan kabut malam sepanjang mata memandang. Aku melirik ke kanan, kemudian ke kiri. Sontak menahan napas. Jantungku seakan berhenti berdetak saat zombie melewati jendela, jaraknya begitu dekat. Ia seakan tertarik ke arah sini. Hanya dengan melihatnya, seolah-olah aku berhadapan dengan suamiku sendiri. Hampir sepanjang waktu aku selalu dirundung dalam trauma. Tubuhku melonjak ke belakang saat wajah zombie itu muncul di hadapanku dalam satu kedipan mata.
"Ibu?" Anisa memanggilku dengan khawatir. Aku langsung menaruh telunjuk di atas bibir. Ia gadis yang mengerti situasi dan penurut. Ia tahu harus menjaga suaranya agar tetap pelan. Atau menjerit saat terancam bahaya dan aku tidak ada di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Malam
Short StoryIni adalah hidup di mana kau takkan bisa bersembunyi. Kematian akan selalu menghantuimu. Menunjukkan bahwa kau begitu dekat dengannya. Tiap jam, tiap menit, tiap detik kau menghirup napasmu yang terengah-engah. Kau sedang bersembunyi di antara suara...