Ranjang itu terus berderit seiring dengan pergerakan seseorang di atasnya. Guling ke kanan, guling ke kiri, mungkin hanya begitu-begitu saja gerakan yang tercipta dari laki-laki di atas ranjang tersebut, seakan ia tak pernah mendapat posisi yang nyaman. Oh, terkecuali mata, tentu saja. Kedua iris coklat itu nyaman pada apa yang digenggamannya. Liu memfokuskan pandangan pada benda elektronik canggih yang pada kenyataannya benda tersebut mampu mengalihkan banyak orang dari realitas mereka. Tentu saja, ia juga termasuk golongan 'mereka', setidaknya orang-orang di luar sana berpikir begitu, kontras dengan apa yang dipikirkan Liu. Liu tak merasa memiliki kesamaan dengan sesuatu yang ia sebut 'mereka', mungkin hanya dalam beberapa hal. Tetapi 'hal' itu mampu menjadi pembeda antara dirinya dan yang lain. Silakan imajinasikan sendiri sesuatu yang dimaksud 'hal' oleh Liu.
Semester ketiga di sekolahnya baru berakhir beberapa hari yang lalu. Jangan tanya lagi, kemalasan yang semakin menjadi-jadi dalam dirinya di satu semester ini telah membuahkan hasil paling maksimal. Target- target dalam setiap mata pelajaran telah jauh dari jangkauan yang semula ditentukan. Bahkan dalam liburan semester kali ini, tak ada sesuatu yang bergeser sedikitpun. Liburan hanya semakin menumbuhkan rasa malas Liu, bahkan untuk bergerak. Anak itu terlalu fokus dalam mengutak-atik ponselnya. Bukan, mengutak-atik disini hanya sebuah konotasi. Hal sebenarnya yang dilakukan anak itu hanya membuka media sosial, bermain game, dan membaca cerita online. Tentu saja hanya yang terakhir yang paling terlihat manfaatnya, secara umum. Hari-hari biasa telah dijalankannya bersama ponsel, dan liburan kali ini pun kemungkinan akan mempererat hubungannya dengan benda tak bernyawa tersebut. Barang elektronik yang seharusnya menjadi ciri kemajuan zaman, bisa jadi malah berbalik menghancurkan peradaban umat manusia.
'Aku bosan. Aku harus mengakhiri kemalasan ini, segera.'
Ditengoknya sebuah jam yang bertengger di dinding. Pukul 10 pagi, bahkan sebelum memasuki waktu siang pun Liu tak tau harus melakukan apa. Sudah sekian kali ia memutuskan untuk menjauhi rasa malas dan sekian kali juga ia dikalahkan olehnya. Sebenarnya teman-temannya di media sosial sering mengajak main keluar, tetapi hal itu diabaikan oleh Liu mengingat dirinya terlanjur menjadi semi-antisosial. Keadaan dunia luar juga menjadi salah satu faktor mengapa Liu sering mengeluh kebosanan. Ia sadar bahwa membuang-buang waktu akan membawa dampak negatif bagi masa depannya, hal inilah yang sering membuat Liu bertengkar dengan pikirannya sendiri.
Tangan itu teralih sejenak dari ponsel, bergerak dan berhenti di atas kepala Liu, menutupi setengah bagian matanya yang terpejam.
'Apa yang bisa kulakukan? Aku suka membaca cerita, seharusnya itu bisa kujadikan inspirasi menulis. Tapi lagi-lagi si tuan malas itu menghalangiku!'
Ia telah memberi nama rasa malas itu, rupanya.
Sekali lagi Liu berguling ke sebelah kiri, menghadap ke dinding.
'Aku tak bisa membiarkan nilai raportku begitu terus, minimal aku harus melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Apa... Apa kira-kira hal yang bisa memotivasiku secara permanen?'
Seketika itu juga ia teringat masa lalunya. Peristiwa yang sangat ingin diceritakan, tetapi Liu tidak tau harus mulai dari mana. Imaji masa lalu yang muncul dalam benak Liu perlahan membuat mata anak itu sendu, menatap udara kosong di hadapannya. Lagi, ia harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Masa lalu yang sangat ingin dilupakan justru menjadi sesuatu yang paling diingat. Tapi ia tau, ia menjadi kuat karena masa lalu tersebut sering melintas di benaknya. Sekarang Liu sadar, satu-satunya hal yang dapat menjadi motivator permanen bagi dirinya hanya masa lalu tersebut.
Sebagai laki-laki sebenarnya Liu terbilang cengeng. Hanya ia yang menganggap begitu, pasalnya ia memang tak pernah menunjukkan air mata di depan umum. Bahkan di depan teman dekatnya sekalipun. Air mata Liu telah lama menguap bersama masa lalu yang eksis dalam hidupnya. Kau tidak dapat mengerti perasaan orang lain yang tersakiti, kecuali kau juga mengalami peristiwa yang serupa dengan orang tersebut, benar? Hal itu selalu Liu ucapkan dalam hati. Ia tau orang di sekitarnya tak mengerti apa yang ia rasakan, dan sebenarnya Liu tak peduli akan hal itu.
Liu menjamah kembali ponsel yang semula tergeletak di sampingnya, menjalankan aplikasi Opera Mini dan mulai mengetik alamat situs favorit yang biasa ia kunjungi saat membaca berbagai cerita. Motivator lain dalam hidupnya.
'Kurasa bacaan yang berat tak apa. Aku butuh konsentrasi dan inspirasi.'
Kemudian ia mulai memilih satu dari ribuan cerita yang tersedia.
Selesai membaca, Liu beranjak dari ranjang 'berderit'nya kemudian menyalakan Personal Computer hasil tabungan beberapa tahun belakangan sebelum ia kehilangan kedua orang tuanya. Di-kliknya program Microsoft Word, dan yang terdengar setelah itu hanyalah bunyi mesin tik hasil dari kedua tangan Liu yang menari-nari dan bunyi jam dinding yang berdetik. Oh, jangan lupakan juga bunyi jantung Liu yang berdetak. Bercanda,suasana kamar Liu tidak sesunyi itu sampai detak jantung pun dapat terdengar.
'Aku memang tak pandai menulis, tapi kurasa ini akan menyenangkan.'
Senyuman kecil tersungging di bibirnya.
Dalam hati Liu mengakui bahwa ia sering mengalami 'gatal' di kedua tangannya. Tetapi ia jarang sekali mampu mengalahkan 'si tuan malas' sehingga dirinya hanya akan berakhir dengan berguling-guling di ranjang bersama benda elektronik tak bernyawa yang ia miliki.
Liu berhasil menyelesaikan sebuah fiksi pendek dalam 2 jam. Ia men-shutdown PCnya, kemudian mengambil sebuah buku tulis dan buku cetak matematika dari rak buku. Mata pelajaran yang selalu membuat dirinya terlelap.
'Bagaimana pun juga aku tak bisa menyia-nyiakan 15 hari waktu liburanku tanpa belajar. Justru inilah yang terpenting.'
Sebuah tekad untuk berusaha mulai muncul. Inilah liabilitas terbesar bagi seorang pemalas yang ingin mengubah hidupnya. Liu mulai mempelajari materi-materi baru yang kemungkinan akan dibahas di semester 4. Beberapa soal latihan ia coba kerjakan walaupun sesekali waktu terlihat kerutan di kedua alisnya. Kerutan-kerutan itulah yang menjadi bukti bahwa saat ini ia sedang berusaha. Si tuan malas pun pergi.
Huft...
'Ah!'
Liu membekap mulutnya spontan.
'Menghela napas berarti membuang satu kebahagiaan.'
Ketika sendirian tentunya ada hal konyol yang terkadang dilakukan, bukan? Walaupun memang yang dikatakan Liu dalam hati adalah benar adanya. Ia puas untuk hari ini dan tak bisa di pungkiri Liu memang sangat menikmati saat-saat ketika ia seorang diri, tanpa siapapun di sekitarnya. Tetapi bukan berarti ia membenci orang-orang. Ada kalanya ia sangat ingin bertemu dan bermain bersama teman-temannya walaupun dalam realitas ia lebih banyak diam. Sungguh, bahkan ia merasa senang hanya dengan melihat senyuman di wajah kawannya.
Liu termenung kembali, dan lagi menatap udara kosong di depannya. Pulpen yang semula dipegang terjatuh menyentuh meja belajar kayu. Ia kemudian tersenyum kecil.
'Ternyata benar. Sebenarnya berusaha itu menyenangkan.'
Krieeettt...
Terdengar bunyi sesuatu.
"Kakak? Ayo makan siang."
Liu tersadar dari lamunannya dan mendapati adik perempuannya berdiri di ambang pintu. Satu-satunya yang ia miliki saat ini mengingat kedua orang tua mereka telah tiada. Sebuah senyuman ia lemparkan untuk adik manisnya. Kemudian Liu beranjak dari kursi meja belajar yang semula ia duduki.
Klep.
Bunyi pintu yang ditutup mengawali obrolan kecil kakak beradik yang terdengar saru di luar kamar. Hari baru telah menghampiri Liu, membawa pergi segala hal negatif yang banyak ia lakukan di hari sebelumnya. Si tuan malas bersedih. Biarlah kakak beradik itu menikmati makan siang mereka sambil berbincang hangat. Aku akan tetap berada di kamar ini, menunggu Liu, teman masa kecilku dan adiknya, Luna yang tengah berada di luar kamar ini. Sungguh menyenangkan bisa melihat kawanmu tersenyum, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker
Short StoryIni hanya tulisan yang dikerjakan saat gabut(?) dan malas mikir. Tentang remaja gabut(?) dan pemalas yang dapat pencerahan. Silakan yang mau baca, tapi tidak baca juga tidak apa-apa.