Rumah

732 21 0
                                    

"Anggap hubungan kita ini sebuah rumah. Kita udah punya kamar, peralatan rumah, dapur, bagasi, jendela, atap, bahkan sudah di cat. Tapi kita gak punya pondasi. Kita gak punya dasarnya," ia menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.

"Sama seperti hubungan kita. Kita udah jalan kesana-kesini, ngelewatin semua bareng-bareng, kita udah buat kenangan yang sulit dilupa. Tapi aku baru sadar, kita gak punya kepercayaan sebagai dasarnya," ia menatap kearahku. Matanya menatapku sendu, ingin kudekap dalam peluk, namun tidak untuk sekarang. Lebih baik begini.

"Bayangin kalau misalnya ada badai yang datang, atau gempa bumi, atau kebakaran. Karena kita gak punya pondasi, rumah kita udah hancur. Hancur berkeping-keping, tak bersisa. Sama seperti hubungan kita."

"Atau mungkin aku terlalu egois? Hanya aku yang menganggap rumah ini ada. Membangun sendiri dan kau hanyalah sebuah mimpi yang kubangun dengan egoku sendiri. Rumah kita fiksi, gak nyata, dan gak pernah ada."

"Sebenarnya, aku takut ada yang membakar rumah kita. Aku takut kamu pergi. Karna kita gak punya kepercayaan," aku menatapnya, mencari-cari kebohongan tentang ucapannya disana. Tak ada, tak ada kebohongan, yang kudapatkan hanyalah tatapan sendu darinya.

"Kita bisa mempertahankan hubungan kita, aku yakin. Tapi aku minta tolong sama kamu. Jelasin ke aku apa hubungan kita sebenarnya. Kita udah ngelewatin semuanya berdua. Mungkin, jika hubungan kita hanyalah hasil ego mimpiku. Tolong jelasin ke aku, supaya aku bisa keluar dari kenyataan yang indah namun pahit ini,"

Ia menjauh, punggung itu hilang tak ada lagi.
Mungkin jika dia saja bisa mengalahkan egonya untuk lelaki sepertiku, akupun bisa berbagi dengannya.
Semoga pilihanku tak salah.

Sedalam-dalamnya, serapat-rapatnya ku kubur jauh-jauh lembar usang itu.
Tetap saja aku harus membukanya.

Luka lama itu tetap harus kubuka.

Kata yang Tertahan Dalam HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang