“Kiss??”
“Iya, kiss. Kamu dan kak Ivankan sudah hampir tujuh bulan jadian, masa sa-ma se-ka-li be-lum per-nah kiss?" cerca Nita dengan wajah tidak percaya, saat kami sedang istirahat latihan basket di tepi lapangan. Wajahnya penuh tanda tanya dan penekanan ucapannya pada kalimat “SAMA SEKALI BELUM PERNAH KISS” membuatku merasa seperti menjadi manusia abad lalu.
Aku memantul-mantulkan bola basket di tanganku dengan lemah sementara sahabatku itu masih ngoceh tentang kiss. Bla bla bla, aku jadi pusing, kubiarkan saja dia terus bicara tanpa ingin menyelanya sama sekali. Tapi bukannya karena aku tidak ingin mendengarkannya, atau karena aku tidak menganggap penting ucapannya, aku diam justru karena aku sedang memikirkan semua yang telah Nita katakan. Semua ucapannya menganggu pikiranku.
“….kalau pacaran itu ibarat masakan, kiss itu bumbu penyedapnya. Bumbu paling penting. Yang bikin masakan jadi terasa, hmmm.. Yummy.
***
“Kiss ya…?”
Tapi apa perlu?
“…jangan-jangan kak Ivan gak beneran sayang sama kamu lagi, makanya dia gak pernah nyium kamu…”
Astaga!! Apa benar begitu?
“..coba deh kamu inget moment paling romantis diantara kalian berdua. Pelukan? Ciuman? Paling-paling cuma gandengan tangan. Iya, kan? Aku sih maklum, kak Ivankan pacar pertama kamu. Tapi bagi kak Ivan? Ayo, hati-hati lo, dyn. Bisa-bisa kak Ivan ntar jadi bosen dan mulai nyari cewek baru lagi.”
Nggak!! Mana sanggup aku ngelihat kak Ivan jalan bareng cewek lain. Mana sanggup aku lihat kak Ivan pacaran ama cewek lain. Ini nggak boleh sampai terjadi.
“…makanya,dyn. Kamu donk yang harus punya inisiatif sendiri. Kamu cium aja kak Ivan duluan, biar dia gak lari..”
Aku?
Cium kak Ivan?
Jemariku bergerak menyentuh bibirku sendiri.
Apa aku bisa? Apa aku bisa nyium kak Ivan duluan? Bayangin itu aja aku gak sanggup apalagi nglakuinnya? Tapi bayangan kak Ivan menggandeng cewek lain berkelebatan di benakku
“Enggak.. enggak. Itu gak boleh terjadi.”
Aku menggelengkan kepalaku
“Dyn..”
“Ardyn. "
Aku tersentak, menyadari seseorang memanggilku.
Deg.
“Kak Ivan.” gumamku pelan. Aku berhenti berjalan dan menunggu sosok yang sering mampir ke mimpiku itu mendekat, menghampiriku.
“Aku manggil dari tadi gak noleh-noleh. Ngelamunin siapa sih?” gerutunya setengah menggodaku. Dia tersenyum begitu ada di depanku. Ah, senyum kak Ivan adalah salah satu hal dari banyak alasan kenapa aku menyukainya.
“Tadi aku ke lapangan basket tapi kata Nita kamu baru aja balik. Untung ketemu disini, aku mau ngajak kamu balik bareng. Mau, kan?” ajaknya penuh semangat dan tanpa menunggu jawabanku lagi dia menggandeng tanganku, ”Ayo!” katanya sambil membimbingku berjalan di sampingnya.
Aku menatap tangannya yang menggengam tanganku dengan erat. Mendadak saja aku begitu ketakutan. Takut kalau suatu saat nanti aku tidak akan merasakan hangat genggaman tangannya lagi.
“..nah kamu cium aja Kak Ivan duluan. Biar dia gak lari.”
Apa harus? Tapi, entahlah. Yang pasti aku tidak akan kehilangan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISS
Short Story"Aku belum akan menciummu, Ardyn sayang." katanya disela-sela tawanya yang terkekeh. Dahiku mengerut, menatapnya penuh tanya dengan mataku yang menyipit. "Mana bisa aku mencium gadis yang baru saja berhenti menangis seperti anak kecil. Mana bisa aku...