"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Sebuah suara berbisik pelan, terdengar jelas di tengah ruangan kecil nan gelap itu. Langkah kaki terdengar berlalu-lalang di depan pintu, membuat setiap orang yang di dalam menahan napas, mencoba menghilangkan jejak keberadaan mereka. Sepasang iris berbeda warna memicing ke arah pintu, sebelum mengalihkan pandangan pada sesosok pria di sana.
"Apa kita bisa keluar dalam keadaan seperti ini?" Wanita berambut merah itu bertanya, raut wajahnya serius dengan atensi penuh pada setiap suara yang ada di luar ruangan.
Satu-satunya pemuda di sana terdiam, membiarkan pertanyaan menguap di udara tak terjawab. Matanya terpejam erat sebelum membuka, peluh membanjiri keningnya. Napasnya tersengal selagi ia menahan erangan. Manik yang semula merah perlahan kembali, sewarna dengan kegelapan di sana.
"Kemungkinannya kecil." Jawabnya pelan, tatapannya beralih pada sosok wanita lainnya. "Apa kau tau denah bangunan ini?"
Anggukan menjadi jawaban bagi dua orang yang menatapnya. "Tentu saja. Saat kita keluar dari sini, akan ada dua jalan. Kita akan sampai ke tangga menuju atas di sebelah kiri, dan tempat pertemuan di sebelah kanan."
Pemuda bersurai raven itu mengangguk, kembali tenggelam dalam bayangan kejadian 15 menit ke depan yang tadi bermain di benaknya. Api berkobar di sekeliling mereka, jeritan kesakitan terdengar memekakan telinga, dan pintu dihadang oleh beberapa orang bertubuh besar. Sekilas, pemuda itu tampak pucat, merasa ngeri pada bayang tubuh yang bergeletakan dalam kobaran api, sebelum kembali memasang ekspresi seriusnya.
Tatapan dilayangkannya pada wanita bersurai merah muda. "Kita akan pergi ke ruangan pemimpinnya." Suaranya terdengar tegas, jelas sekali tersirat makna tak ingin dibantah. "Dan Yukito, aku ingin kau berjaga di basement. Para penjaga akan berkumpul di sana 5 menit lagi dari lantai tiga. Kau tidak perlu menghadapi mereka, cukup pastikan mereka tidak menyentuh sebuah lemari yang ada di sana."
Dua wanita itu tampak tak gentar dengan kemungkinan mengerikan yang akan mereka hadapi saat mereka keluar dari satu-satunya tempat aman di gedung itu. Mereka berdiam sejenak, memusatkan perhatian pada tiap suara di balik pintu sebelum sang pemuda mengangguk memberi tanda.
Pintu dibuka perlahan dan segera tertutup kembali. Ketiga orang itu berpisah jalur sesuai dengan rencana sebelumnya dan berlari tanpa suara. Furiyama Seira sama sekali tak merendahkan kewaspadaannya selagi ia berlari dan berhenti sejenak tepat di hadapan sebuah pintu besar nan megah. Ia melirik rekannya sebelum membuka pintu itu dengan tenang.
"Tuan Yotsuba Keita," Panggilnya pelan, membuat sang pria yang tengah duduk di balik meja tampak terkejut. "Kami adalah teman dari Risatani Yukito."
Pria itu menatap dua orang asing itu dengan curiga sebelum kembali dengan wajah seriusnya. "Aku tak mendengar adanya tamu." Ucapnya datar. "Yah, itu tak penting. Jadi, apa kalian setuju akan proyek kami?"
"Membantu orang terlantar tentulah kegiatan mulia," Seira memulai. "Jika tidak terselubung niat untuk menjadikan mereka alat untuk organisasi kalian." Ujarnya tajam, disambung dengan keheningan yang sementara.
"Sepertinya kalian salah paham di sini." Sang ketua organisasi menyahut dengan tenang.
"Kami akan diam apabila anda menghentikan apapun yang anda rencanakan." Seira kembali berucap, ancaman tersirat dibalik tiap katanya. "Kami sudah tau mengenai organisasi anda."
Sang pria tak terlihat terguncang, bahkan sama sekali tak ada tanda kegelisahan dalam matanya. "Lalu? Apa aku harus menuruti kalian?"
Seira melangkah maju, menarik kerah baju sang pria dengan tatapan mengintimidasi. "Ya, sebaiknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Romance(n) Hal-hal yang lebih baik tidak diucapkan. Cinta bertepuk sebelah tangan, misalnya. Rasa sakit yang ada di balik kebenaran timbul bersamaan dengan kekecewaan.