BEGIN AGAIN

29.6K 366 9
                                    

“Apa?  kamu ngebiarin Pram bolak balik ke apartemen kamu seenaknya gitu?” aku hampir saja tersentak mendengar teriakan sahabatku Nina  di telingaku, ketika kuceritakan tentang Pram yang terkadang singgah di apartemenku hanya untuk beristirahat sebentar, kalau kalau dia ada acara di sekitar apartemenku.

“Cuma istirahat saja kok Nin..lagipula aku sama dia nggak pernah ketemuan langsung kok, biasanya dia singgah kalau aku masih d kantor, lagipula dia juga nggak bakal mau kalau aku ada disana” jelasku

“Tapi Tata...”

Aku mengibaskan tanganku, “ udah yah Nin, nggak usah khawatir, aku tau kok yang aku lakukan. Okay?”

Nina mengangguk angguk tidak percaya padaku “hati hati lo Ta, ingat kalian itu dalam proses akan berpisah, dan kamu masih leluasa, membiarkan Pram bolak balik ke apartemen kamu, gimana kalau nanti kejadian kek yang dulu?”

Aku menarik napas panjang, berusaha mencerna perkataan Nina barusan, dan jujur aku akui, kata kata Nina ada benarnya juga. Tapi aku berusaha untuk tidak menyangkut pautkan yang dulu dulu dengan yang sekarang. Cukuplah 6 bulan terakhir ini membebani pikiranku, dengan berabgai masalah yang menimpaku.  Teringat kembali 6 bulan yang lalu, pertemuan pertama aku dengan Pram di sebuah acara kantorku yang diadakan di sebuah ballroom hotel berbintang, aku yang waktu itu sedang mabuk, mengalam insiden yang tidak mengenakkan bersama Pram, aku lupa apa yang terjadi, yang jelas pagi harinya aku terbangun dan aku sudah berada di kamar Pram, tidur bersamanya tanpa sehelai benang pun di balik selimut. Yang sebulan kemudian aku menyadari aku telah hamil anak dari Pram, tidak butuh lama untuk aku menemukan pram dan memnita pertanggung jawabannya, karena Pram merupakan salah satu klien penting kantorku. Yang kusyukuri adalah Pram mau bertanggung jawab atas kehamilanku, dia bersedia menikahiku, padahal yang aku tahu waktu itu dia sudah mempunyai kekasih yang sedang kuliah di luar negeri. Aku dan Pram akhirnya menikah, dengan berbagai perjanjian, syaratnya yang pertama  adalah kita hanya menikah selama setahun yang artinya kami akan bercerai setelah aku melahirkan dan bayiku berusia 3 tahun. Kedua, selama menikah dengan Pram, dia akan tetap berhubungan dengan kekasihnya itu, oh iya kekasihnya mengethau tentang pernikahn kami ini dan dia bersedia saja menunggu Pram, sampai kontrak pernikahanku dengan Pram selesai. Aku tidak meminta ataupun memprotes segala bentuk perjanjian, yang terpenting saat itu yang kubutuhkan adalah, aku harus menikah dengan ayah abyi yang kukandung, dan aku ingin anakku lahir dengan ayah disampingnya.

Semuanya berjalan normal sesuai perjanjian kami, hingga memasuki satu bulan pertama pernikahn kami, karena terlalu kecapekan, aku mengalami keguguran. Aku benar-benar sangat terguncang, aku tidak siap menerima itu semua, dan yang lebih membuatku terguncang adalah, kelakuan pram yang sama sekali tidak pernah peduli dengan aku dan bayiku, sampai di detik detik terakhir aku keguguran , diapun tidak datang mengunjungiku dengan alas an rapat yang yang tidak bisa ia tinggalkan di kantornya dan saat itu yang menemaniku Cuma sahabatku Nina. Yah Cuma dia satu satunya orang di dunia ini yang tahu keadaanku yang sebenarnya, bahkan orang tuaku pun tidak. Orang tuaku menganggap aku sudah cukup bahagia dengan pernikahan ku dengan Pram. Saat itulah aku benar-benar tidak bisa menahan amarahku, aku benar benar marah ke Pram, aku sedih karena kehilangan bayiku dan aku kecewa dengan Pram. Dia yang aku butuhkan ketika berada di UGD rumah sakit, dia yang aku butuhkan ketika dokter mengatakan aku kehilangan bayiku dan dia yang aku butuhkan ketika aku pingsan dan ingin melihatnya, tapi apa? Dia tidak pernah muncul di rumah sakit bahkan sampai aku pulang ke rumah. Aku berfikir setelah semua kejadian yang menimpaku, aku lelah dan tidak sanggup lagi hidup bersama dengan Pram. Aku dan Pram tidak pernah benar benar saling mencintai. Kami berdua terikat dalam ikatan pernikahan ini, semata mata demi bayi yang ku kandung, tapi setelah aku mengalami keguguran, psikis dan mentalku benar benar tidak tahan lagi, hubunganku dengan Pram juga bukannya semakin membaik, tapi semakin menjauh, aku dan dia sudah jarang bertemu ataupun saling bertegu sapa. Walaupun tinggal serumah, tapi kami benar sudah saling menjaga jarak. Dia berangkat kerja, ketika aku bahkan masih tidur, dan dia pulang ketika aku sudah tidur. Hubungan suami istri kami berdua pun bahkan kami tidak pernah melakukannya, sebagaimana pasangan pasangan yang lain. Jadi sebulan setelah aku mengalami keguguran, kami atau lebih tepatnya aku memutuskan untuk berpisah, Pram terang terangan menolak usulanku setelah aku menyatakan niat berpisahku padanya.

BEGIN AGAINWhere stories live. Discover now