Our Love

18.5K 976 25
                                    

Aku menggerakan jemariku ketika sebuah cahaya menarikku ke dalamnya, membuatku membuka mata secara perlahan dan tidak mendapati apapun di sekitarku—hanya ranjang yang sedang ku tiduri dan sebuah sensasi hangat yang mendekapku.

Semuanya terasa gelap dan dingin. Kakiku bahkan bergetar kedinginan ketika kurasakan sebuah balok es seperti menempel di kakiku. Aku mengerang kecil ketika aku mencoba mendongak, membuat seseorang yang mendekapku terbangun dan menatapku dengan mata sayunya.

“Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara yang sangat serak.

“Ya.”

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lagi yang membuat benakku mencari-cari siapa pria yang sedang mendekapku ini. Dan sebuah nama pun melintas di benakku. Xavier Huighstone.

Kali ini aku mengangguk, menghela napasku lalu merengkuh wajah Xavier lembut. Apakah ini perasaanku saja atau memang wajah Xavier terasa sangat kurus? Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena cahaya yang biasanya menyinari kami di padamkan.

“Kau terasa sangat kurus, Xav. Apa yang terjadi?” Suaraku tidak seperti biasanya, aku tau itu. Lagi pula ini juga bukan seperti suara Zane. Suara ini terasa sangat ringan dan dingin, membuatku berdeham dan mencoba mengembalikkan suaraku.

Sesuatu yang hangat seketika menyentuh jemariku yang perlahan-lahan mulai mendingin, membuatku menatap Xavier lekat-lekat hingga kurasakan napasnya berhembus tepat di depan wajahku.

“Aku merindukanmu.”

Aku baru sadar bahwa tangan Xavier memeluk pinggangku sedari tadi, membuatnya menarikku untuk lebih dekat lalu di tenggelamkannya kepalanya di lekukan leherku.

Sesuatu yang hangat kembali menyapa leherku ketika lambat-laun napas Xavier menjadi pendek dan dapat ku simpulkan bahwa ia terisak. Untuk apa?

“Aku merindukanmu juga, Xav,” ujarku seraya mengusap-usap dadanya yang terasa sangat panas. “Berapa lama aku tertidur?”

Xavier tak menjawab, ia hanya menghirup aromaku hingga dalam sekejap ia sudah menyambar bibirku dan menciumnya lembut. Aku terpaku untuk beberapa saat, merasa bingung harus melakukan apa. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mataku dan membalas ciumannya.

Tak seperti biasanya, bibir Xavier terasa kering dan hambar. Entah apa yang terjadi padanya selama ini hingga membuatku melepaskan bibirku padanya dan menatap kedua mata hitamnya yang terasa sangat gelap.

“Berapa lama?”

Ku lihat Xavier menarik napasnya panjang lalu membalas tatapanku. “22 hari.”

Aku membulatkan mataku tidak percaya, menggeleng kecil lalu menelusuri wajah Xavier dengan jemari dinginku. “Apa yang terjadi?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya—“

“Kenapa?”

“Xena, aku tidak—“

“Katakan padaku, Xav.” Suaraku pun mulai meninggi.

“Aku tidak bisa, Xena! Ini menyakitkan!”

Aku langsung menciut ketika suara Xavier berubah menjadi sangat rendah dan membentakku secara bersamaan. Membuat kaki serta tanganku bergetar ketakutan. Ku dengar ia menghela napas lalu mencium keningku lama dan sebuah kehangatan pun merayap cepat ke dalam tubuhku.

“Maaf, aku tidak bermaksud menaikkan nada suaraku,” ujarnya lalu memainkan rambut ku yang menutupi sebagian wajahku. “Hanya saja, aku tidak siap.”

Aku pun mengangguk, menundukkan kepalaku sejenak lalu kembali menatapnya. “Kau harus siap, karena aku harus tau apa yang terjadi.”

“Oke,” Xavier pun menjentikkan jarinya, dan seketika cahaya penerangan di kamar kami menyala. Aku menahan napasku ketika ku dapati wajah Xavier sangat kurus yang di sertai kantung mata yang sangat dalam serta lebam-lebam di wajahnya.

ALPHA's Savior Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang