Amaranthine

178 20 2
                                    

Siang itu matahari bersinar cukup terang, namun suasana di sekitar citadel tetaplah sejuk, terbukti dari furin bekas musim panas lalu yang terus saja berbunyi akibat di terpa angin.

Sambil mengamati langit di musim gugur ini, aku tertidur di atas tatami tanpa suara. Hari ini aku belum mendapatkan perintah apapun dari Aruji-sama, dan entah kenapa itu membuatku sedikit muak. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain terbaring diam di tengah citadel, dan menikmati angin yang mengacak surai cokelatku perlahan.

Kemudian aku mengalihkan pandanganku dari arah langit menuju halaman belakang citadel, kearah gundukan-gundukan tanah yang baru saja digali pagi ini, di dekat pohon besar yang sudah tak berdaun. Aku membetulkan posisiku agar lebih nyaman, dan sekali lagi aku mengamati gundukan tanah itu, sejujurnya tidak ada yang spesial dari tempat itu, hanya diriku saja yang senang sekali mengagumi hasil 'karya' sendiri.

Berbeda dengan suasana sekarang, pagi tadi citadel sangatlah ramai.

Dari lorong, menggema suara tangisan satu-satunya Tachi dari keluarga Awataguchi yang tetap tak bisa menerima kenyataan. Di hadapannya tersebar banyak sekali tumpukan tubuh adik-adiknya yang tak bernyawa, walau begitu semua bola mata mereka tertuju kearah Ichigo, seakan menatap lelaki bersurai biru itu dengan penuh tanda tanya, bingung dengan fakta yang ada kalau kakak yang mereka cintai itu membantai mereka satu per satu.

Kebishii.

Mahluk itulah yang sepatutnya di tuduh.

Jika saja ia tak bersembunyi dari radar milik Aruji-sama, jika saja bilah pedang terkutuknya itu tak berhasil mengkoyak daging mereka, mungkin para Tantou dari keluarga Awataguchi akan baik-baik saja pagi itu. Namun tidak, akibat luka mereka yang tak kunjung tertutup dan di sembuhkan sebab persediaan resources yang menipis. Pelan-pelan, zat 'racun' dari pedang Kebishii yang tertanam di luka mereka mulai menyebar, mengikuti arus darah, dan mengkonsumsi jiwa raga mereka, membuat mereka menjadi salah satu dari Kebishii. Jika dibiarkan, akan ada dua hal yang mungkin terjadi; mereka pun corrupted dan akhirnya berubah menjadi 'Kebishii'. Karena itu, Ichigo Hitofuri pun turun tangan dan bertanggung jawab atas adik-adiknya.

Kuakui, dia memang kakak yang bijaksana.

"Hasebe-kun, selamat siang."

Kemudian aku langsung bangun dari posisi begitu mendengar suara yang sudah kunanti-nantikan, sebuah senyum lebar terpasang di wajahku begitu irisku menangkap sosoknya yang indah dan menawan itu. Padahal terakhir kali kami bertatap muka itu sekitar lima jam yang lalu, namun tiap detik yang lewat terasa seperti siksaan.

"Selamat siang, Aruji-sama." Jawabku, kemudian menunduk hormat. Ia hanya membalasku dengan sebuah senyuman simpul yang manis, sebelum berbalik dan berjalan kearah dapur, diikuti diriku yang membuntutinya dari belakang.

"Apa kau melihat Mitsutada-kun? Aku hendak memintanya untuk membuat makan siang." Kemudian tangannya ia angkat untuk meraih pintu geser menuju dapur yang ada didepannya, membuat lengan kimononya agak merosot kebawah, memperlihatkan pergelangan tangan putih sepucat saljunya yang banyak sekali luka sayatan.

Aruji-sama mulai senang menyayat pergelangan tangannya sendiri semenjak insiden Kebishii ini terjadi. Mungkin aku lupa cerita, tetapi kejadian semacam para Tantou Awataguchi itu bukan yang pertama kalinya, dan setiap kejadian semacam itu terulang lagi, maka Aruji-sama akan menambahkan goresan baru di pergelangan tangannya, seakan menjadikannya sebagai tempat untuk menghitung peristiwa buruk yang telah terjadi, sekaligus pelarian dari rasa stressnya.

Aku hanya menjawab pertanyaanya itu dalam diam, lebih tepatnya aku tidak begitu menyimak karena pandanganku terfokus pada luka goresan baru di pergelangan tangannya, mungkin ia baru saja menambahkan satu untuk kejadian tadi pagi. Walaupun aku tahu itu membuat Aruji-sama tenang, tapi aku tak pernah menyukai aksi melukai dirinya sendiri ini. Dengan perlahan aku menarik lengannya, menatap luka itu sebentar, sebelum mulai mengecupnya perlahan.

AmaranthineWhere stories live. Discover now