Hiruk pikuk memecahkan keheningan malam, suara bising telah menggema di berbagai sudut rayon. Hilir mudik para wanita berjilbab telah terlihat ditengah hitamnya alam yang kian memudar diterpa cahaya pagi, suara tapakan kaki terdengar kian ramai memenuhi jalan-jalan yang tak begitu besar. Gema sholawat nan syahdu menggema hingga terdengar ke pelosok-pelosok ma'had.
"heeeeeiiii... bisur'ah na'am!". Suara Ukhti Maryam yang tedengar tepat dipintu masjid.
"eh ayo cepetan, nanti kena mahkamah nih". Kata Najwa mengingatkan teman-temannya untuk segera bergegas menuju masjid.
Najwa Anindy Rahmah, gadis belia yang biasa disapa dengan Najwa, berdarah Bandung-Aceh mempunyai lesung pipi yang menjadi cirri khasnya. Bibirnya yang tipis dan wajah yang teduh bernafaskan darah melayu yang melekat pada dirinya. Tak jarang santri-santri satu pondokan yang mengenalnya pun iri akan wajah Najwa yang terbilang cukup manis dan sedap dipandang mata. Mereka sering memuji Najwa dengan pujian yang cukup puitis dan kadang memiliki nilai penghargaan yang sangat tinggi bagi sang pemuji. Namun Najwa tak begitu menyukai pujian dari teman-temannya itu, seringkali ia melontarkan bantahan tentang dirinya itu. Pantas saja teman-temannya itu memuji Najwa, Najwa juga mahir dalam bidang akademik maupun non akademik, terutama dalam berpidato. Segala kejuaraan telah doraih Najwa, mulai seantar Pondok hingga seKabupaten Bandung tempat Najwa menimba ilmu. Kemahiran Najwa dalam bidang tersebut membuat namanya harum dan tak sedikit Ustad atau Ustazah mengenalinya.
"assalamu'alaikum warahmatullah...". Ucap imam masjid tanda berakhirnya sholat shubuh jama'ah pagi ini.
Seperti biasanya, rayon demi rayon selalu ramai dan tak pernah terlihat absen akan segala akitivitas santrinya. Terutama pada subuh pagi ini. Jalan utama menuju kelas pun terliha begitu padat. Nampaknya para santri telah berantusias untuk mengikuti serangkaian rutinitas dipondok, tak terkecuali dengan Najwa, ia masih sibuk dengan tangan dan jari-jemarinya yang sedang melipat-lipat kain dikepalanya.
"aaa yaampun, ini himar tumben banget ih gak bener". Gerutu Najwa.
"apaan sih Naj, ngedumel aja..". ucap Mahira dari belakang.
"kali ini bantuin ana plisssssss, pakein himarnyaaaa". Kata Najwa dengan menunjukkan raut muka yang memelas.
"lah, tumben banget ente, biasanya jam segini udah ngecengin Ustad Syabil dipojokan balkon haha". Balas Mahira dengan jawaban yang cukup meledek.
"hisss, udah ah! Gak penting ngebahas itu, tolongin yaaa ukhti jamiilah". Jawab Najwa sambil menelungkup kedua tangannya sebagai tanda permohonan pada Mahira, teman satu gurfah dipondok.
"yaudah sini penggemar beratnya Ustad Syabil hehe".
Kata-kata gurauan Mahira kini menjadi trend object satu gurfah Fatimah. Dengan hitungan detik, puluhan pasang mata beralih menyoroti kedua santri itu hingga keduanya terdiam dan tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka.
"heh! Gara-gara kamu nih, mereka jadi ngeliatin kita". Kata Najwa dengan lagak mengerutkan dahinya serta mengecilkan pandangannya kea rah Mahira.
"afwan huh.. aku Cuma bercanda kok. Lagipula yang aku ledek itu kamu kan bukan mereka". Jawab Mahira dengan maksut menyindir puluhan pasang mata yang baru saja melirikkan pandangannya kearah mereka.
Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi. Masih ada waktu satu jam setengah untuk dapat menikmati kasur kamar ataupun sarapan pagi yang telah disediakan oleh ibu dapur. Kesibukan yang dilakukan para santri akan melewati perjalanan panjang dengan segudang aktivitas pondok yang menggunung. Tak ada lagi waktu untuk sekedar bersenda gurau ataupun dengan menghabiskan waktu didepan televisi dengan siaran drama percintaan yang sedang marak dikalangan muda mudi. Deringan telepon genggam juga musnah bak diterpa badai gurun yang mengkikiskan suasana.
Najwa masih menampakkan wajahnya didepan cermin yang telah menempel dilemari miliknya disusul dengan taburan bedak bayi ditelapak tangannya, lalu dipoleskan kewajahnya yang teduh itu.
"assalamu'alaikum.. fii ukhti Najwa laa?". Tanya Laila yang tengah berdiri didepan gurfah.
"ada Laila, masuk aja". Jawab salah satu penghuni kamar Fatimah.
"tumben lel kesini, yang lain pada kemana?". Ucap Najwa pada Laila yang biasa disapa Lel.
"hih kamu ini, ditungguin daritadi lama jiddan na'am. Yang lain udah ada didepan kelas, liat deh sekarang jam berapa?". Kata Laila dengan nada yang sedikit kesal.
"berarti ana telat dong ya hari ini hehe, jam 6 lel. Emang ada apaan hari ini? Kok buru-buru banget". Jawab Najwa
"hello ukhti shogir, al an imtihan nadrusul ta'lim muta'allim. Sejak kapan kamu jadi pelupa gini?". Gerutu Laila.
"apaaaaa???? Sekarang lel? Oh yaampun akibat lelahnya diriku menerjang badai yang tiap hari menerjang, makanya ya sedikit lupa gini deh hehe". Jawab Najwa sontak diselingi dengan bahasa kiasan yang mulai menggerayangi dirinya.
"udah ih buruan, pelajaran tercinta ente kan hehe".
Najwa mulai menyamakan gerakan kaki Laila yang berjalan begitu cepat darinya, tak absen Najwa dari serangan bom atom yang merajuk pada dirinya. Laila yang sangat senang sekali meledek Najwa karena kekagumannya pada sang Ustad muda yang cerdas, Ustad Syabil Haddad Zunnurain, itulah nama lengkapnya, pria muda yang kini telah menyandang gelar sarjana dengan predikat mahasiswa dengan lulusan terbaik di Universitas tenama di Yordania. Ia juga termasuk senior Najwa kurang lebih 5 tahun diatasnya, Ustad Syabil merupakan Ustad termuda diantara Ustad-ustad lainnya. Tak hanya cerdas, ia juga sangat arif dan berwibawa ditambah dengan wajahnya yang begitu tampan dengan alis tebal mengikuti lingkar kelopak matanya.
Banyak yang mengaguminya termasuk Ustazah dan santri-santri dipondok, Najwa salah satunya.
"assalamu'alaikum tholibah, kayfa asbahtum?". Ucap Ustad Syabil dengan salam pembukaan dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai kabar murid-muridnya.
"asbahtum bikhair Ustad..". Jawab murid-murid serentak.
"oke, sesuai dengan jadwal minggu lalu, sekarang kita ulangan bab 5 sebelum berlanjut ke bab berikutnya".
"baik ustad". Jawab murid-murid kembali.
Pagi ini, keheningan muncul ditengah-tengah kegelisahan para santri kelas 6 yang kini sedang mengikuti ulangan masing-masing kelas, terutama pada kelas 6-a tempat Najwa dan santri-santri lainnya mengemban segala ilmu pengetahuan. Sahutan-sahutan kecil terdengar samar-samar diantara para santri yang sibuk membolak-balikkan kertas ulanganl. Namun tidak dengan Najwa, yang sampai sekarang ini terlihat santai dan tak ada rasa ketegangan yang terlihat dari wajah maupun bahasa tubuhnya, najwa juga sangat menikmati soal-soal yang cukup sulit dan memiliki jawaban yang panjang.
"duh, kok rame si ukhti-ukhti.. lihat dong temanmu ini, Najwa dari tadi santai loh". Kata Ustad Syabil yang membuat Najwa setengah kaget.
"haaa? Ana Ustad?". Jawab Najwa keheranan.
"iya kamu Najwa. Kamu itu yang minggu lalu tampil diacara milad pondok kan? Yang pidato bahasa arab?". Tanya Ustad Syabil dengan raut muka serius.
"na'am Ustad". Jawab Najwa singkat, namun tetap dengan kelembutan serta kesopanan Najwa.
"setelah pulang sekolah anti temui saya diruangan, ada sedikit yang ingin saya tanyakan". Jelasnya.
"baik ustad". Kata Najwa.
Ulangan telah berakhir, banyak santri-santri yang mengeluh tentang pembahasan soal ulangan yang barusaja selesai. Banyak yang belum mereka mengerti, karena pelajaran Ta'lim merupakan pelajaran yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan yang luar biasa dalam mempelajarinya. Hanya segilintir santri yang mampu menangkap dan memahami bab demi bab yang telah diterangkan oleh Ustad Syabil.
Terdengar suara azan dari arah masjid, suara yang begitu lembut dan tak asing lagi ditelinga Najwa, suara yang sangat masyhur untuk berada dijangkauan luas, suara itu juga telah puluhan kali hadir diatas microfon ruangan-ruangan khusus. Yap! Tepat sekali dugaan Najwa, itu adalah suara Ustad Syabil. Najwa teringat akan janjinya dengan sang Ustad, ia berniat untuk menemui Ustad Syabil seusai melaksanakan sholat dzuhur berjama'ah.
"ukhti Najwaaaa, anti dipanggil Ustad Syabil diruangannya, katanya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan". Suara teriakan dari jendela kamar sebelah.
"syukron ukhtiiiii". Ucap Najwa sedikit berteriak.
Tak sempat melipat mukenanya kembali, Najwa pun mengambil himar pink yang tergantung dilemari miliknya dan berjalan dengan cepat untuk dapat segera sampai diruangan sang Ustad yang ia kagumi, detak jantung menyeruak dalam diri Najwa, dalam batinnya ia bertanya-tanya untuk apa Ustad pujaannya itu memanggilnya, dan hal penting apa yang membuat Najwa terpanggil. Beribu pertanyaan telah memenuhi fikiran Najwa, rasa gugup dan takut bercampur rasa senang yang sungguh luar biasa sedang menyerang Najwa.
Dengan langkah yang terengah-engah Najwa berjalan melewati beberapa rayon serta kantor pengurus pondok.
"buuukkkkkk". Suara badan Najwa yang menabrak seseorang yang berada didepannya.
"ustad?? Afwan.. saya gak tau kalo ada Ustad, sekali lagi maafin saya stad". Ucap Najwa dengan berjuta rasa bersalahnya pada Ustad pujaannya.
"lain kali kalau kamu jalan jangan terburu-buru..". jawab Ustad Syabil dengan peringatan yang begitu mendalam bagi Najwa.
"i..i..iya Ustad, syukron". Kegugupan yang sungguh luar biasa yang dirasakan oleh Najwa serta rasa bersalahnya pada sang Ustad yang kini telah berada dihadapannya.
"oh iya, daritadi saya nungguin kamu Najwa, ada yang mau saya bicarakan sama kamu". ucapan serius yang keluar dari mulut Ustad Syabil didukung dengan raut wajah yang tak menunjukkan candaan ataupun gurauan.
"iya Ustad, maaf saya telat datang menghampiri Ustad, memangnya ada hal apa yang ingin Ustad bicarakan dengan saya?".sahutan yang dilontarkan Najwa untuk mencoba menghilangkan rasa gugup yang merajalela dalam dirinya.
"yasudah, mari masuk..".
"syukron Ustad".
Ketegangan yang dirasakan oleh Najwa kini telah menyebar kesegala sudut-sudut tubuhnya, ia tak mengerti mengapa ia bisa sampai dipanggil keruangan untuk menemui Ustad Syabil. Kekhawatiran Najwa akan sikap atau kesalahan yang ia perbuat membuat keringatnya bercucuran hingga membasahi pipinya yang lembut.
"Najwa?? Kamu sakit?". Tanya Ustad Syabil padanya.
"eng..engga kok Ustad, saya hanya takut jika saya melakukan kesalahan sampai-sampai saya dipanggil keruangan Ustad". Katanya dengan jari yang memainkan jilbab merah muda.
"oh, tidak Najwa. Saya ingin mengusulkan kamu kepada pihak pondok supaya kamu dikirim buat ikut seleksi pidato tingkat Nasional yang akan diadakan pada bulan depan di Jakarta, apa kamu bersedia untuk mengikuti tes tersebut?". Penjelasan Ustad Syabil yang cukup panjang serta Nampak sedikit membanggakan prestasi yang pernah diraih Najwa.
"saya yang diutus Ustad? Apa saya bisa membawa nama baik pondok?? Saya masih banyak kekurangan Ustad, apa Ustad engga coba buat cari santri yang lain?". Pertanyaan yang cukup banyak dari Najwa dengan rasa keputusasaan yang dilontarkannya kepada Ustad Syabil.
"justru itu karena saya memanggil kamu, saya rasa kamu pantas dan berhak untuk mengikuti seleksi ini. 2 hari yang lalu saya sudah menyeleksi santri-santri yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang ini, tetapi kepercayaan diri mereka tak sebagus dirimu Naj, nanti saya akan membantumu untuk latihan pidato ini, ada Ustazah Fatimah yang akan membimbingmu juga". Jelas Ustad Syabil.
"baiklah Ustad, saya akan berlatih semaksimal mungkin agar dapat membanggakan nama pondok terutama Pak Kyai. Terimakasih juga untuk Ustad dan Ustazah Fatimah yang bersedia membimbing saya untuk berlatih". Ucap Najwa kepada Ustad Syabil.
"baiklah Najwa, saya percaya kalau kamu dapat berprestasi lagi, kamu juga santri yang cerdas dan sholihah". Pujian-pujian yang dilontarkan Ustad Syabil sekaligus mendo'akan Najwa.
"syukron Ustad, InsyaAllah saya akan menjaga amanah yang dititipkan Ustad dan para pembimbing untuk saya".
"baik kalau begitu, kamu boleh kembali ke gurfah".
"syukron ustad..".
Berita gembira yang Najwa terima dari sang Ustad pujaannya, membuat ia semangat untuk terus berlatih. Ia juga ingin membuktikan, bahwa siapa saja mampu melakukan hal sepertinya asalkan ada niat serta usaha yang keras. Teman satu gurfahan Najwa serentak bangga akan kegigihan dan bakat yang Najwa miliki, mereka juga mendukung semua yang Najwa perlukan selama berlatih tak lupa juga menyemangati Najwa ketika ia jatuh dan merasa putus asa dan tak sanggup lagi untuk melanjutkan latihannya karena Najwa juga disibukkan dengan Pendalaman Materi serta Try Out terakhir yang menjadi tolak ukur kelulusan Najwa.
"assalamu'alaikum, Najwa.. ini umi nak, maaf umi mengganggu waktu perlombaan kamu, umi Cuma mau mau bilang bahwa umi sama ayah bangga sekali sama Najwa, karena Najwa bisa mewakili Pondok Pesantren untuk seleksi tingkat Nasional, berdoa terus nak untuk hasil yang baik, dan pasrahkan segala keputusannya pada Allah". Kejutan yang Najwa dapatkan dari umi tercintanya.
"wa'alaikumussalam, umi. Terimakasih umi sudah mendukung segala kegiatan Najwa, InsyaAllah Najwa bisa banggain umi sama ayah, doakan Najwa ya mi, Najwa juga titip salam buat ayah dirumah. Najwa rindu sama umi dan ayah". Ucap Najwa pada telepon genggam yang dipinjamkan oleh Ustad Syabil.
Keharuan akan rindu pada sang ibunda telah terbayar walaupun tak bisa bertatap muka serta menaruh pelukan hangat, embun mata jatuh tepat dipipi Najwa. Dengan sigap ia segera mengusap air matanya, walaupun rasa rindu tak terbendung lagi akan umi, ayah dan keluarganya dirumah.
Najwa segera menutup teleponnya dengan umi tercinta, terlihat wallpaper wanita cantik berjilbab pada HP Ustad Syabil, nampaknya itu adalah sketsa gambar yang Ustad syabil buat, dilengkapi dengan inisial nama tepat dipojok kanan atas.
"NAR?? Itu kaya singkatan namaku deh, ah tapi mana mungkin". Gumam Najwa dalam hati diselimuti rasa keingintahuan yang sangat tinggi.
"sudah selesai teleponnya ukhti Najwa?". Ucap Ustad Syabil mengagetkannya.
"eh Ustad, sudah. Syukron atas pinjamannya".
"afwan ukhti".
Ukhti... kata yang barusan keluar dari mulut sang Ustad yang juga merupakan kakak senior Najwa. Keasingan serta keheranan yan g kian memuncak yang semakin sesak memenuhi rongga fikirannya.
"peserta selanjutnya, dengan nomor urut 59 atas nama Najwa Anindy Rahmah dari Pondok Pesantren Daarul Marhamah. Kepadanya waktu dan tempat dipersilahkan". Moderator telah memanggil nama Najwa, sontak para audience pun ikut memberikan apresiasi kepada Najwa.
"bismillahirrohmanirrohim, robbisyrohli shodri wa yassirlii amri...".
"hamasa ukhti, tanjahiinaa fil musabaqoh InsyaAllah..".
"syukron ustad". Senyuman yang dilemparkan Najwa kepada Ustad Syabil dibalas dengan senyuman yang begitu indah dari Ustad pujaannya.
"I think enough, may Allah bless us. Syukron katsiron 'ala ihtimamikum Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Salam penutup pidato Najwa yang menandakan pidatonya telah selesai.
Ucapan selamat datang untuk Najwa dan Ustad Syabil telah terpampang besar didepan gerbang pondok, beribu-ribu santri dan santriwati menyambut kedatangan Najwa yang baru saja sampai di Bandung tepat Najwa mondok, setelah berkompetisi dalam pidato bahasa inggris dan arab diJakarta. Ada rasa bangga tersendiri bagi Najwa karena bisa membawa nama pondoknya ke seleksi tingkat Nasional, segala ucap syukur kepada sang Ilahi Rabbi yang telah memberikan kelancaran dan hasil terbaik untuk kompetisi kali ini. Najwa dinyatakan sebagai pemenang utama, lukisan yang diidam-idamkan selama ini telah terpampang jelas didepan matanya. Cintanya, yang disimpan rapih didalam doanya telah tercapai bersama Sang Ustaz impiannya. Cita-citanya untuk dapat berpidato dengan lancar dan lantang telah ia raih dengan seribu perjuangan dan sejuta cobaan, Najwa kini telah melukiskan perasaannya, bukan hanya perasaan dan cintanya tetapi citanya juga telah ia lukiskan diatas kanvas berlapis senyuman bahagia kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Perasaan di Atas Kanvas By: Hikmatus Syifa Aulia
Historical FictionHiruk pikuk memecahkan keheningan malam, suara bising telah menggema di berbagai sudut rayon. Hilir mudik para wanita berjilbab telah terlihat ditengah hitamnya alam yang kian memudar diterpa cahaya pagi, suara tapakan kaki terdengar kian ramai meme...