Zahra

210 3 1
                                    

“Ikaaa aku pulang sayang, “ teriakku lantang sambil menaiki tangga menuju kamar kosku. Tapi nggak terdengar suara teman sekamarku itu. Aku buka saja pintu pelan-pelan dan kulihat temanku yang satu itu sudah pulas tertidur. Kutaruh bungkusan gorengan yang kubawa di meja, kemudian kututup pintu dan turun ke bawah.

Pelan aku berjalan, dan hatiku dag dig dug menemui seseorang yang sejak 2 jam yang lalu sudah bersamaku. Kuperhatikan senyumnya yang memikat. Well, dia memang nggak berwajah tampan dan berkulit gelap, tetapi ada satu kata yang bisa mewakili keseluruhan penampilannya, manis. Ya, aku mengakuinya. Dia memang manis walaupun setiap kali aku selalu mengoloknya jelek dan gendut. Dia memang berbadan bulat, dengan tinggi 165cm dan berat badan sekian kg. Hal itu mengingatkanku pada sosok yang kukagumi, Doraemon. Bedanya, Doraemon bisa mengeluarkan benda-benda ajaib dari kantong empat dimensinya, sedangkan Dia yang biasa kupanggil Rendi ini hanya mempunyai senyuman yang mampu meluluhkan aku.

Aku segera duduk disampingnya dan hanya berdiam diri. Ingatanku segera melayang pada 3jam sebelumnya. Seusai mandi, aku segera menyiapkan pakaian yang akan kukenakan dan kurapikan. Aku masih benar-benar ingat malam ini aku punya janji untuk nonton dengan Rendi. Kerudung baruku segera kusetrika. Aku sudah belajar untuk mengenakan kerudung model baru tersebut siang tadi. Aku duduk didepan cermin kamar kosku, mengambil pelembab wajah dan segera mengoleskannya. Kemudian dengan perlahan tapi pasti aku mulai menepukkan bedak diwajahku. Kuambil lip balm untuk mengoles bibirku yang terlihat semakin mengering. Merasa ada yang kurang segera kusapukan maskara dibulu mata kanan dan kiriku. Setelah kuperhatikan wajahku sebentar aku sudah merasa cukup dengan riasan diwajahku.

Setelah menunggu sekitar setengah jam Rendi pun tiba di depan kosku. Sekali lagi kuperhatikan cermin untuk memastikan nggak ada yang salah dengan penampilanku. Dengan motornya kita menuju Malang Town Square (Matos). Sesampai disana ternyata kita salah jadwal untuk film yang kita inginkan. Akhirnya terdamparlah aku dan dia di food court dengan lautan manusia. Satu jam terlewati tanpa terasa sampai akhirnya kita putuskan untuk pulang saja. Bosan!

“Zahra, kok diam?” tanya Rendi memecah lamunan. Aku segera kembali pada waktu dan ruang yang sebenarnya.

“Ah, nggak diam kok kak. Hehe,” Jawabku dengan santai.

“Kamu itu sebenarnya suka aku karena apanya sih?” pertanyaan yang kurasa selalu ada setiap kali kita bertemu dilontarkan lagi.

“Ya, for the first I think it’s because comfortable, “jawabku yakin meski aku juga nggak tahu dengan pasti alasan sebenarnya.

Selanjutnya, kuperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan seksama.

“Ara, aku ini ya nyaman sama adek. Aku ini juga suka sama adek. Tapi adek tau sendiri seperti apa hubunganku dengan Mbak Maya,” jelasnya untuk menutup pembicaraan panjang sebelumnya dengan logat yang tidak jelas asalnya. Aku hanya bisa angguk-angguk kepala dan tersenyum.

Sebenarnya aku mengerti apa yang kuinginkan kali ini akan terhalang oleh perasaan gadis yang terpaut tiga tahu  lebih tua dariku itu. Tapi keyakinanku yang semula kuat menjadi dipertanyakan ketika Kak Rendi membuka suara lagi.

“Adek tatap mataku. Adek bener rela kalau kita pacaran tapi aku sama mbak Maya tetap dekat?” tanyanya penuh kepastian.

Aku yang menatap matanya segera mengalihkan pandangan karena pertanyaan itu. Aku mulai melihat kalender di hapeku. Kutatap angka 15 bulan april tahun ini.

“Adek, yang ku takutkan juga kalau setelah kita pacaran adek malah tambah sayang sama aku,” ujarnya polos yang dikejar dengan tawa terbahak. Hah, ingin ku lari saja rasanya.

Kualihkan kalender bulan april itu menuju bulan mei. Ku buka angka 14 dalam deretan angka itu. Aku membuat pengingat dengan kata-kata “OK, It End”. Setelahnya aku merasa mantap atas jawaban yang akan kupilih.

“Adek, sudah malam. Aku pulang dulu ya. Aku tahu adek pengen nangis.”

“Ara santai aja kak.  Iya kak Rendi pulang aja,” jawabku penuh senyum.

“Jadi, apa jawabannya?” tanyanya sekali lagi.

“Iya, ara bisa menerima semua resikonya kalau kita pacaran. Aku memang pencemburu, tapi cemburuku tetap menggunakan logika kok kak,” jawabku meyakinkannya.

“Adek jangan nasngis ya, aku mau pulang,” pamitnya.

“Apa sih kak?" Kucubit lengannya sekuat tenaga, mencurahkan rasa kesal dengan olokannya.

Kuperhatikan langkahnya, setiap detail geraknya. Aku tahu suatu saat nanti aku akan merindukan semua tentangnya. Dengan langkah pasti aku kembali ke kamarku, dan meyakinkan diriku untuk tenang di malam yang kutunggu ini. Kubuka diary book, dan menuliskan kisahku dengannya yang dimulai malam ini. Setelahnya, aku hanya bisa terdiam dan tersenyum.

Dua jam setelahnya aku nggak bisa tenang. Mencoba untuk terlelap dalam benda empuk yang kata adikku bisa dijadikan kemoceng ini pun akan sia-sia. Well, memang benda ini berbulu, macam bulu kucing anggora yang dipaksa kawin sama kucing persia. Tapi benda yang kuberi nama 'Ucil' ini hadiah dari ibu, katanya sih bulu hewan asli. Entah bagaimana caranya bisa jadi macam bantal kombinasi boneka begini. Dan aku hanya duduk di kursi putar sambil sesekali melihat layar smartphone yang sudah ketinggalan zaman di tahun ini.

***

rasa sesal di dasar hati

diam tak mau pergi

haruskah aku lari dari

kenyataan ini

“Hallo”.

Hening.

“Hallo, Azahra Meong disini. Ada yang bisa saya bantu?”

Masih hening.

“Tuut tut tut... “.

Teleponnya terputus. Hampir seminggu ini kejadian ini berulang tiap harinya. Jam, dimana jamku. Jam berapa sekarang ini? Ah, itu dia jamnya.

“LAGIIIII ????”

Ah aku telat lagi, untungnya bukan telat kuliah. Aku dan ika ada janji temu di perpustakaan. Ika sudah disana sejak pagi tadi. Dan aku yang hari ini nggak punya rencana pun alhasil mager di kos dan ketiduran. Telat lagi untuk kesekian kali janjian sama Ika. Meski kami teman sekamar, Ika nggak menolerir jam karetku yang selalu molor untuk urusan diluar kuliah.

Sial, pasti di omelin lagi nih. Gerutuku dalam hati. Tapi biar bagaimanapun, Ika teman terbaik yang kutemukan di kota Malang ini. Aku tergesa ke kamar mandi hanya untuk cuci muka. Kusapukan bedak sekenanya di wajah buru-buru. Begitu siap aku berlari menuruni tangga belakang yang langsung tembus ke jalan tikus menuju kampus.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SebulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang