"Ahhhh!!!" Hamparan daratan dengan tanah yang merefleksikan langit sehingga seperti di surga adalah hal yang pertama kali aku lihat sewaktu mataku terbuka.
Itu hal pertama, keduanya adalah kepala merasa kosong dan pusing. Dan yang ketiga, aku memakai pakaian yang sama dengan terakhir diingat. Hanya kaus oblong hitam dan celana panjang coklat, bahkan kurasakan pakaianku sudah basah karena tertidur disini. Kepalaku hanya menggeleng kesana-kemari tak tahu apa yang terjadi. Yang kuketahui semalam, setelah mengurusi dokumen di komputer aku bermain game bernama "Rail to Gun". Yah, itu adalah sebuah game pertempuran kereta api dimana kau menembakan meriammu ke kereta lawan hingga hancur. Game yang sedang booming dari Pixel Federation. Lumayan mudah untuk diterangkan, tapi tak sesederhana itu. Setiap lokomotif, gerbong, persenjataan, ataupun peta punya cerita tersendiri. Kau tidak mungkin asal maju dan bertempur, atau lokomotifmu hancur sebelum 100 meter berjalan.
Aku ingat, tempat ini seperti yang peta yang terakhir aku mainkan. Kōchi no Rakuen, itulah namanya. Disini tak ada gunung yang menutupi cakrawala, hanya dataran garam super luas yang digenangi air sehingga langit tampak memantul seperti di dunia lain. Tempat terfavorit kedua karena tak ada apapun yang dapat membatasi Line-of-sight. Dengan kata lain, pemain pemula yang tak punya radar dapat melihat musuh dengan jelas. Hanya terkadang bila kau tak pintar kau malah akan menembak bayangan kereta lawan.
Tapi itu game, ini adalah kenyataan yang terjadi.
Apakah ini di Salar de Uyuni? Mengapa begitu sepi tanpa aktifitas pertambangan atau pariwisata? Aku tak melihat tanda-tanda kehidupan apapun terlebih sebuah kendaraan yang dapat dikendarai. Ini bukanlah situasi yang patut disyukuri. Pulang, itu tujuanku pertama. Kuberanikan diriku untuk berdiri dan melangkah. Jujur, aku tak tahu mau dikemanakan langkah kaki ini. Makin cepat dan akupun berlari. Aku hanya ingin menghindari tempat antah berantah nan panas ini. Namun, rasanya perlahan rasa takutku menjalar di hati. Apa yang terjadi mengapa aku bisa terbawa ke sini? Ah, entah mengapa pikiranku terlalu sakit untuk memikirkan hal itu.
Aku tak pernah berlari sejauh ini sebelumnya. Ini sudah 2 km dari titik awal. Langkahku semakin pelan karena dadaku mulai terasa sesak. Baiklah, aku hanya butuh duduk sebentar. Tenagaku sudah terkuras begitu banyak dan tetap mendapat apa yang disebut kesia-siaan. Oh ayolah, memangnya berapa jarak Kapal Sekolah Hikari yang berada di samudera pasifik dengan tempat yang entah berada di Amerika atau Afrika? Kuputuskan untuk berjalan meskipun tenagaku sudah hampir habis.
Sudah sekitar 30 menit aku melangkah. Lututku lama-lama lemas juga. Sial! Aku tak pernah terbiasa di tempat ini. Bahkan alam hanya terlihat statis saja tanpa ada ujung pegunungan. Pekerjaan tiap hari hanya mendekam dikamar ditemani komputer hi-spec yang menyala 24 jam. Perlahan rasa haus semakin menjadi dan kepalaku menjadi pusing, penglihatanku menjadi kabur. Tentu aku tak mau konyol meminum air di sini. Ketika kusadari aku sudah terkulai di atas daratan yang membasahi sekali lagi pakaiannku.
Rasanya tenagaku benar-benar sudah hilang. Walaupun aku sama sekali tidak merasakan sakit, tetapi aku menyadari bahwa kondisiku sangat buruk karena merasakan sudah hampir kehilangan kesadaran. Rasanya pasti nyaman kehilangan kesadaran walau ditengah terik matahari. Tapi kalau sampai terjadi, aku akan benar benar mati. Serius? Aku mati pada usia semuda ini? Aku bahkan belum sampai setengah masa hidupku! Bagaimana aku bisa tertawa kalau aku mati karena terjebak di dunia antah-berantah ini! Banyak hal yang hilang dari diriku bersama dengan hilangnya kesadaranku. Apa yang akan terjadi disekolah besok? Aku sedikit ingat, Vania, ya Vania. Apakah ia tak akan terkejut? Ha-ha, tidak dalam seratus tahun... Ayah, Ibu... Aku belum melakukan hal yang bisa menyenangkan kalian. Oh gawat, tidak akan lucu kalau mereka sampai tahu kamarku yang berantakan. Sial, mengapa juga aku masih memikirkan hal-hal itu pada saat hampir mati?
Tanganku masih bisa bergerak. Perlahan, aku mencoba merangkak perlahan. Kalaupun aku mati, aku ingin mati di pelukan perempuan yang dapat membuatku hangat. Atau kalau tidak, tolonglah. Aku hanya ingin memeluk dia untuk terakhir kalinya. Tanganku lemas dan akhirnya aku terjatuh begitu saja. Mataku semakin kabur. Apakah akhirnya selesai? Sial hidupku sungguh buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rail to Gun
Science FictionKoga Abarai adalah seorang Gamer Online dan merupakan salah satu player yang cukup terkenal di sebuah game Online berjudul Rail to Gun. Suatu hari, ia bangun dan meyadari kalau dirinya telah terjebak di versi nyata dari game favoritenya itu. Hidupny...