Last Recital

55 4 6
                                    

Foto sang gadis sudah ia bakar untung menghilangkan barang bukti hubungan mereka, tetapi siluet, pun bayangan wajahnya masih terpatri dengan jelas di memori. Seruntai kelam yang jatuh sempurna di bahu, lesung pipit yang mengapit selengkung senyum termanis, juga binar bahagia yang memancar di sepasang manik gelapnya. Entah kenapa, di sisa-sisa tarikan napas pendeknya, paras ayu sang gadis malah membabi buta merasuk dalam pikiran seorang Yoon Junhan. Gadisnya tercinta, yang sekarang tak sedikit pun ingin ia ingat ada di mana.

Seharusnya, ini bisa jadi hari paling bahagia untuk mereka: berdiri di depan altar, sang lelaki berbalut tuxedo hitam sementara sang perempuan dengan gaun putih indahnya. Saling bertukar cincin, mengucap janji suci, lantas terkikik kecil mengingat masa-masa awal pertemuan mereka. Bonus, mungkin semalaman berdebat tentang siapa yang pertama kali jatuh cinta. Namun, tidak semua hal indah terjadi di masa perang. Bersama pintu lapuk yang menjeblak terbuka, kabar kedatangan tentara Jepang merusak detik-detik sakral mereka.

"Kita harus segera pergi, Hyung. Para tentara menuju ke sini. Aku tidak tahu siapa yang membocorkan rahasia tempat ini, tapi tidak ada waktu lagi untuk menyelidiki." Seokmin melepasnewsboy cap-nya, memberi isyarat pada beberapa kawannya untuk segera melakukan evakuasi. Napasnya terengah-engah sementara peluh berlomba-lomba melucur dari puncak kepala. Kedua sepatunya berlapis debu jalanan. Celananya yang seharusnya hitam kini bercampur bercak serbuk samar berwarna cokelat muda. Bisa ditebak, Lee Seokmin begitu tergesa hingga harus berlari untuk mencapai rumahnya sendiri.

"Jung..." Junghan ingat bagimana jemari mungil gadis itu mencengkeram lengannya erat, menampakkan raut khawatir ketika Junghan mengambil pistol yang tersimpan di lacinya.

"Pergilah dengan Seokmin, Mary-a." Junghan mencoba melepas cekauan Mary dengan lembut, mengabaikan betapa semakin eratnya si gadis menggenggam. "Lee Seokmin, tolong jaga kakakmu."

"Tapi...." Gadis itu memang tidak melanjutkan ucapannya, namun cukup bagi Junghan untuk mengetahui maksud Mary dari sayu tatap matanya. Batinnya terbagi dua, antara membiarkan sang pemuda tetap di sini, melakukan apa yang seharusnya para pejuang kemerdekaan lakukan, atau mencoba menuruti egonya sendiri, menarik Junghan untuk ikut melarikan diri, melewati lorong rahasia yang ia bangun di bawah lantai gudangnya.

"Aku akan tetap di sini. Aku akan mencoba mengulur waktu sementara kalian mencari lokasi sembunyi."

"Tidak bisakah–"

"Tidak. Sudah tugasku melindungi kalian semua. Mereka mencariku. Bukan kalian."

"Apa kita akan bertemu lagi?"

Junghan ingat bagaimana detik-detik terasa berjalan sangat lambat waktu itu. Dia tahu bahwa tak ada kebaikan yang menanti lewat harapan palsu yang menentramkan hati. Bukan pula teori-teori tentang masa depan yang tak pasti yang diharapkan gadis itu dalam penantiannya. Junghan tidak segera menjawab. Sekon demi sekon berlalu lebih cepat. Dengan tangannya yang kekar ia rengkuh Mary dalam pelukan sebelum memberi sebuah kecupan di dahi.

"Masih sempat melamun sebelum mati, eh?"

Junghan mengerjap. Kilasan wajah sang gadis berubah menjadi pemandangan lain. Seorang pemuda tengah menodongkan pistol padanya; Hong Jisoo, orang yang pernah ia anggap sebagai sahabatnya. Dia bahkan masih menganggapnya sahabat sebelum lima menit yang lalu, timah-timah panas diberikan sebagai hadiah kejutan atas kepercayaannya, berikut pengakuan sebagai mata-mata Jepang yang memberikan informasi pergerakan para agen revolusioner Korea. Pengkhianat. Sosok asli Hong Jisoo adalah seorang pengkhianat bagi negara sekaligus mereka yang sempat menganggapnya sebagai rekan perjuangan. Oh, betapa bodohnya Junghan hingga tertipu kedok polosnya.

Junghan meludah, warnanya merah, bercampur darah. Susah payah ia menggeser posisi duduknya. Bibirnya meringis sembari menggurat senyum asimetris. Ada setidaknya lima peluru yang bersarang di tubuhnya. Satu di lengan, satu di bahu, dan satu di perut sebelah kiri, yang dua lagi, entahlah, Junghan tidak ingat sama sekali. Toh, sakitnya sama saja, menyebar ke seluruh tubuh. Darah juga masih merembes cukup deras dari luka-luka terbuka yang ia miliki; menguras tenaga, pun kesadarannya. Walau tanpa diagnosa dokter, Junghan sudah tahu nasibnya di ambang hidup dan mati. Entah karena kehabisan darah, atau karena moncong pistol yang kini menempel di dahi.

"Perintah eksekusimu sudah dikeluarkan, Jung." Jisoo tersenyum. "Mencoba melakukan pembunuhan terencana terhadap dua perwira tinggi Jepang, eh? Kau terlalu berani. Sayang nyalimu tak sebesar keberuntunganmu."

"Kau mengkhianati Korea, Jisoo-a."

"Aku hanya mencoba bertahan hidup."

"Dengan menjadi budak Jepang? Kau tidak punya harga diri."

"Setidaknya aku tidak akan mati sia-sia seperti ini."

"Setidaknya aku tidak menjadi pengemis yang mengkhianati negaraku sendiri."

"Teruslah mengoceh Yoon Junghan, tapi itu sama sekali tidak akan merubah fakta bahwa kau akan mati di sini."

Kembali, senyum tipis yang diiringi isak tangis itu membayang dalam pikiran Junghan. Pelukan yang terlepas. Derai air mata. Jemari yang tak lagi memagut. Lantunan perpisahan terakhir.

"Kita pasti akan bertemu lagi, Sayang. Pasti. Walau bukan di dunia ini."

Dor!

~Fin.

Last RecitalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang