*Jatuh Hati*
Ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan kini kau sentuh
Lantunan lagu milik Raisa masih terus berdengung di telinganya, ia tak sekedar mendengar-kan, namun meresapi lagunya. Menikmati kata demi kata yang Raisa lantunkan. Matanya perlahan terpejam, menikmati suasana sore hari di taman. Perlahan, ia ikut turut bernyanyi. Ada begitu banyak daftar putar lagu di telpon genggamnya, namun ia tidak bisa berhenti untuk mengulangi lagu itu terus menerus.
Sejenak ia berpaling kepada buku catatan kecil di pangkuannya, kosong. Kertas berwarna putih itu masih sama dari yang sebelumnya. Bersih. Tak tertulis apa pun. Ia menghela napas panjang. Bergumam dalam hati. Akan ia tulis apa?
Lalu ia mendongak menatap langit kala itu. Mendung. Langit memang sulit ditebak. Sebelum ia beranjak menuju taman, langit masih cerah dengan sinar matahari yang menyelusup masuk menyinari bumi tanpa awan sebagai penghalang. Kini jelas bahwa langit telah berubah. Mulai kehitaman.
Tak masalah bila langit berubah setiap saat, ia akan tetap menyukai langit bagaimana warnanya. Pada akhirnya ia mulai melengkungkan senyumnya. Rintik-rintik air hujan kini mulai menetes. Senyumnya semakin berkembang. Tak peduli ia akan kebahasan atau tidak. Ia tetap terduduk di sana. Hingga lagu yang sedari ia putar terhenti. Buru-buru ia mengecek telpon genggamnya. Mati.
Bintang kemudian beranjak dari duduknya, berlari menuju ayunan di pinggir taman sambil terus menggenggam buku catatannya. Tak peduli jika sepatunya akan lepek dan basah, tak peduli jika dirinya basah kuyup hingga demam, namun yang terpenting buku catatannya tidak rusak. Terlalu begitu cinta Bintang pada buku catatannya. Kisah hidupnya, kisah kesedihan, kisah bahagia telah ia tuangkan ke dalamnya. Dan hanya dirinya yang tahu.
Dari kejauahan, Bintang menangkap seseorang yang sedang teruduk di bangku taman tadi. Terduduk di sana sembari mendongakkan kepalanya, merasakan tiap tetes dingin yang menyentuh kulit wajahnya. Bintang kira hanya dirinya sajalah yang melakukan hal seperti itu, namun ada sosok lain.
Pria itu masih bergeming. Tangannya ia rentangkan lebar-lebar. Kali ini kulit telapak tangannya yang menyentuh air. Dalam diam, dan dalam bunyi gemerisik air hujan Bintang mulai terpikat. Buku catatan yang sedari tadi ia peluk akhirnya ia masukkan ke dalam tas selempangnya, kemudia ia letakkan di ayunan itu. Lalu Bintang berjalan perlahan menuju pria itu. Ia turut merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Berputar-putar sambil menatap ke langit. Bintang tak pernah merasa sebahagia itu ketika bertemu dengan hujan. Bagi Bintang hujan adalah wakil dari setiap perasaan yang bersedih. Namun kali ini tidak. Hujan adalah wakil dari perasaan bahagia.
Pria itu lalu menoleh, menatap Bintang yang masih mandi hujan. Lalu ia bangkit dari duduknya, menghampiri Bintang.
"Kamu suka hujan juga?"
Spontan Bintang menjawab, "Aku lebih suka langit, tapi hujan bagian dari langit." Jawab Bintang, dan baru saja ia tersadar bahwa yang betanya tadi adalah pria itu. Mendadak pipinya memerah sekaligus memanas. Diam. Hanya suara derasnya hujan yang mengiringi keduanya. Sampai pada akhirnya Bintang berbalik bertanya, "Apa yang membuatmu menyukai hujan?"
Pria itu menjawab, wajahnya ia palingkan menghadap Bintang.
Napasnya terasa tercekat, pria itu memiliki bola mata yang indah. Tatapannya dalam seakan tak berdasar. Tatapannya seketika mampu meluluhkan hati Bintang.
"Karena hujan adalah wakil dari setiap perasaan bahagia."
Bintang tersenyum mendengar jawaban dari pria itu. Entah mengapa suara itu membuat Bintang tenang. Tiap tutur katanya, tiap pria itu berkata Bintang tak bisa berhenti untuk tersenyum.
