Chapter 6

1.4K 78 0
                                    

***

Iqbaal berjalan cepat menuruni tangga. Dia masih dapat mendengar tangisan (Namakamu). Dia harus segera menjauh dari tempat ini. Namun meski dia sudah berada di luar, tangisan serta jeritan gadis itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Iqbaal merogoh sakunya lalu mengumpat saat tidak menemukan rokok di sana. Dia berjalan menuju bar terdekat. Sekarang dia bisa mabuk-mabukan tanpa mengkhawatirkan apa pun.

Akan tetapi kakinya tidak dapat melangkah terlalu jauh. Iqbaal duduk di tepi trotoar dan membuka topinya. Dia melarikan tangan ke rambutnya, nyaris menjambak helai-helai tebal itu. Rencananya berjalan dengan lancar. Dia seharusnya merasa puas. Tapi kenapa pikirannya bertambah kalut dan perutnya serasa habis dihantam oleh tinju mematikan. Dia ingin muntah. Dalam arti sebenarnya.

(Namakamu) berteriak memanggil-manggil namanya, dan Iqbaal benar-benar nyaris membawa gadis itu pergi dari sana. Melindunginya dari segala macam bahaya. Bahaya yang dibuat oleh Iqbaal sendiri.

Tidak. Dia tidak boleh menjadi lemah hanya karena air mata dan isakan penuh permohonan. Dia telah menunggu sangat lama untuk mewujudkan saat ini. Saat putri dari Herry McAdams terpuruk ke neraka yang gelap. Sama seperti dirinya. Tapi gadis itu tidak tahu apa-apa. Rasa mual kembali merayap naik ke tenggorokan Iqbaal. (Namakamu) hanya korban tak bersalah. Korban tak bersalah yang adalah anak Herry McAdams. Iqbaal menggertakkan gigi. Dia telah melakukan hal yang seharusnya. Gadis itu bukan lagi tanggung jawabnya. Dendamnya sudah terbalas. Habis cerita. Sekarang yang akan dia lakukan adalah merayakannya dengan menghabiskan uang yang dia dapatkan.

Dia bangkit berdiri. Merasa lebih tenang dengan pemikirannya barusan lalu mengenakan topi. Sialan. Iqbaal tidak dapat menipu dirinya sendiri. Dahinya berkeringat dan tangannya gemetar. Ini bukan dirinya. Dia tidak dapat melakukan hal ini, sekalipun pada putri Herry McAdams. Dia tahu dia akan menyesal. Rasanya dia ingin berteriak dan mengutuki hati nurani sialannya.

Iqbaal berjalan pergi. Kembali ke tempat Madam Bertha. Dia nyaris berlari saat melakukan itu. Apakah dia terlambat? Jantungnya berdebar dengan liar memikirkan kemungkinan tersebut. Iqbaal mengetuk pintu kayu hitam di depannya, nyaris menggedor dengan kepalan tangannya.

"Aku ingin bertemu Madam Bertha."

Pria yang tadi membukakan pintu untuknya menatap Iqbaal penuh selidik. Namun tidak lama karena pintu itu langsung mengayun terbuka di depannya. Iqbaal tidak membuang-buang waktu lagi. Dia membuat Madam Bertha terlonjak dari kursinya saat tiba-tiba saja dia berjalan cepat ke arah wanita itu.

"Apa-apaan ini?!" Wanita itu berseru marah. Iqbaal merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan amplop coklat yang belum di bukanya.

"Kembalikan dia padaku," Iqbaal menyodorkan amplop itu ke depan Madam Bertha. Wanita itu tampak bingung. Namun dia segera menguasai diri dan berkata tenang.

"Bukan begitu cara kerjanya, Iqbaal," Madam Bertha berkata licik.

Iqbaal tahu itu. Yang dia tidak tahu, apakah dia punya cukup uang untuk menebus (Namakamu) kembali. Dia mengepalkan tangannya, berusaha tidak menghajar wanita culas di depannya untuk melepaskan emosi, "Berapa?"

"12.000."

"Kau gila," Iqbaal mendesis marah, "Apa yang membuatmu berpikir aku akan membayar sebanyak itu?"

"Kau yang putuskan," Madam Bertha bersandar dengan nyaman di kursinya sambil menyilangkan jari-jari gemuknya. Iqbaal benar-benar ingin melompat ke atas meja dan mencekik wanita di depannya. Tapi dia sadar kalau dia melakukan hal itu, dia tidak akan mendapatkan (Namakamu) kembali. Lagipula, kedua orang pengawal Madam Bertha yang kini berdiri dengan waspada di belakangnya, akan mematahkan kedua tangan Iqbaal sebelum niatnya sempat terlaksana.

Light In The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang