3. A Glass Of Coffee

128 4 0
                                    


Mungkin terbangku tidak sepandai burung yang mengudara, tidak pula sepandai ikan yang berenang di air, atau tidak juga seperti semut yang pandai berjalan tanpa melihat. Tapi aku punya satu hal, hal yang dapat membuat dirimu hanyut bersama ku, hatiku. Terkadang cinta se-simple itu

Azriel telah usai berkutat dengan soal-soal fisikanya, dan kini otaknya tengah dalam masa pendinginan. Bel pertanda jam istirahat dimulai pun telah bordering dan membuat seisi kelas bahkan mungkin seisi sekolah menjadi riang, bak mendapat segunduk emas. Tak terkecuali Azriel.

Tak ada satu pantat pun yang masih setia menempel di kursi kelas, semua melesat keluar menuju kantin, mencari sesuatu yang bisa dimakan yah, setidaknya bisa mengisi mulut para cacing agar tidak terus menerus berinstrumen.

"kantin yuk, laper nih" keluh rio sambil mengelus perutnya yang rata tetapi sedang bergenderang riang.

"boleh, boleh, sekalian aku mau pesen tiramisu black coffee" ajakannya langsung di iyakan oleh azriel, dan mereka pun keluar, berjalan menuju kantin, kali ini hanya ada azriel dan rio yang berjalan keluar, tanpa ada babas dan nichola. Karena mereka masih bersemedi di toilet.

lorong penguhubung antara kelas dan kantin, bisa di bilang cukup jauh, seperti melewati lembah, jurang yang dalam, samudra yang luas, menaiki gunung yang tinggi, dan jalan yang tak berujung, tapi itu nyata, azriel dan rio harus melewati koridor kelas x, lalu melewati perpustakaan, berbelok melewati uks favoritenya, lalu melewati mushola, turun tangga, lalu berbelok lagi melewati lab bahasa, lab kimia, dan berbelok melewati ruang guru setelah itu, barulah surga makanan bagi para cacing yang belum di suapi oleh memiliknya berada.

Sependapat dengan rio, bahwa jalan tersulit saat ingin berlabuh di kantin adalah saat melewati koridor kelas x, bukan karena jalannya yang rusak atau berdebu, tapi karena bola mata dari para gadis kelas x yang mengintip dari kaca jendela, rio benar-benar merasa risih, pasalnya mereka tidak canggung lagi menatapi ketampanan rio bahkan menjerit-jerit kecil mengeluh-eluhkan namanya. Dan imbasnya azriel yang di sampingnya pun meresa malu, meski mereka melihat kearah sahabatnya itu.

Dengan langkah yang sedikit di perbesar, akhirnya mereka sukses melewati lorong yang menurut mereka begitu menyebalkan. Selebihnya tidak ada tantangan yang begitu menguras tenaga dan perasaan untuk menuju kantin.

"RIO!, RIO! " rio menengok ke arah suara yang sudah terbiasa di dengarnya. Pak Andy, pembina osis yang perfectionist.

"ziel, kamu duluan aja deh ke kantinya, ngga papa kan? Soalnya percuma kamu nungguin aku, pak Andy pasti bakal nyuruh aku ini itu, ngga papa yah? Yaudah aku duluan yah, sampai nanti" bak kilat di kala hujan, rio melesat ke arah Pak Andy, meninggalkan azriel, yang belum sempat menjawab pertanyaannya.

'dan, akhirnya aku di tinggal sendirian' umpatnya dalam hati, ia terus saja berjalan menuju kantin, yang kini tinggal beberapa langkah saja.

Kondisi di kantin saat jam istirahat sepertinya tidak perlu di deskripsikan, sudah barang tentu, setiap stand dan kursi pasti akan di penuhi oleh pemilik cacing yang sedang kelaparan, namun rupanya tidak, saat azriel datang ke kantin, keadaan disana tidak begitu ramai, mungkin karena waktu istirahat sebentar lagi, bisa di bayangkan berapa lama azriel berjalan dari kelasnya menuju kantin.

Bola mata azriel yang bulat kini tengah melirik, menyapu seluruh hamparan kursi yang ada di kantin, mencari tempat yang cocok untuknya, tak kurang dari 5 detik, mata dan pikirannya berkolaborasi berusaha mengenali sosok yang begitu familiar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ku Harap Kau JugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang