Saat kau tak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang kenyataan, manakah yang akan kau pilih?
**
Suara elektro kardiogram yang berirama konstan itu sebenarnya selalu mengusik tidurku, membuatku terjaga hampir tiap jam, tetapi justru suara itu juga yang membuatku tenang. Membingungkan memang, namun memang begitu adanya. Suara itulah yang membuatku yakin ia masih ada disini, bersamaku.
Seperti biasa, pagi itu, saat aku membuka mata masih saja kudapati dirinya yang seakan tertidur lelap. Wajahnya terlihat begitu damai. Meskipun begitu, aku tahu bahwa sesungguhnya ia tengah berjuang keras, berjuang melawan dirinya sendiri.
Aku menggeliat untuk meregangkan otot-otot tubuhku. Tertidur di sofa memang benar-benar tidak nyaman. Aku pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju ranjang rawat lelaki itu, Ares. Ujung jemariku menyusuri rambut hitamnya yang lembut. Bola mataku tak pernah bisa berhenti terpaku mengamati wajah mungilnya. Jemariku beralih mengusap pelan kening dan pipinya. Suhu tubuhnya sudah stabil, namun aku sadar bahwa pipinya yang dulu cukup tembam dan menggemaskan kini perlahan menjadi semakin tirus, apalagi semenjak ia dirawat di rumah sakit minggu lalu.
"Ares... bangunlah...," ucapku lirih.
CKLAK.
Pintu kamar inap Ares terbuka, dan tampaklah Tante Hestia membawa tas besar yang tampaknya berisi baju ganti dan keperluan Ares lainnya. Aku pun tergopoh-gopoh mendekati beliau, membungkuk mengucapkan salam dan membantu beliau membawa barang bawaannya.
"Ah, Bunda datang pagi sekali hari ini," aku membuka percakapan sambil tersenyum pada Tante Hestia, ibu dari Ares. Aku memang terbiasa memanggil Tante Hestia dengan sapaan 'bunda', sebagaimana Ares biasa memanggil beliau, karena aku sudah menganggapnya sebagai ibuku sendiri.
"Iya, Bunda sudah sangat rindu pada Ares," sahut Tante Hestia. Kesedihan tampak menggelayut di raut wajahnya. "Dan juga, Bunda tidak tega membiarkanmu menjaga Ares semalaman, setiap hari. Maafkan Bunda sudah merepotkanmu." Tante Hestia justru membungkuk sebagai tanda permohonan maafnya.
Aku cepat-cepat menggeleng dan berkata,"Tidak apa-apa, Bunda. Justru aku yang tidak tega jika Bunda sendirian menjaga Ares. Aku senang menjaga Ares, Bunda. Dengan begitu aku selalu bisa memantau keadaannya."
"Terima kasih, sayang. Kau memang calon menantu yang sangat baik," Bunda balas tersenyum jahil seraya mengusap pelan pundakku. Dan juga membuat pipiku memerah saat beliau mengatakan 'calon menantu'. "Nah, sekarang, pulanglah dulu. Bunda yakin kau butuh istirahat dan merawat diri. Kau tidak mau, kan, ketika Ares bangun nanti, kau dalam keadaan berantakan begitu?"
Mau tak mau aku tertawa kecil mendengar candaan Bunda. "Baik, Bunda. Aku akan pulang dulu, nanti siang aku usahakan secepatnya kembali kesini," jawabku.
"Iya, tidak perlu terburu-buru, sayang. Terima kasih, ya."
Aku pun mengemas barang-barangku dan berpamitan pada Tante Hestia. Aku menatap lekat wajah Ares yang terlelap sebelum membuka pintu ruangan itu dan keluar. "Tunggu, Ares, aku akan secepatnya kembali siang nanti..." janjiku dalam hati.
-000-
Irama elektrokardiogram yang begitu cepat itu membuat degup jantungku menjadi liar. Air mata mendesak keluar dari kedua pelupuk mataku. Dari sudut mataku, dapat kulihat dada Ares naik turun tidak teratur akibat napasnya yang tidak teratur pula. Dokter dan para perawat tergesa-gesa masuk ruang inap Ares dan memeriksa keadaannya. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku memeluk Tante Hestia kemudian menggiringnya keluar dari ruangan. Sesaat aku sempat melihat para perawat sibuk memasang alat bantu pernapasan dan alat-alat penunjang kehidupan lainnya pada tubuh Ares dari kaca ruang inap, sebelum salah seorang perawat menutup tirainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Wake Me Up
Lãng mạnSaat kau tak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang kenyataan, manakah yang akan kau pilih?