Pinjam Tangan
Leli sedang menunggu taksi malam itu. Dia baru saja pulang keluar dari swalayan 24 jam. Tadi dia menumpang mobil temannya sepulang kantor jam 9 malam. Karena ada beberapa keperluan yang harus dia beli, maka dia minta diturunkan di depan swalayan itu.
Sekarang dia sedang repot sekali. Seperti kebanyakan perempuan pekerja, dia membawa 1 tas untuk peralatan kosmetik, dompet, ponsel, dan banyak lagi lainnya. Satu tas lagi untuk laptopnya.
Masih lagi ditambah 2 tas plastik cukup besar. Ada pembalut wanita dan kudapan kentang goreng dalam kemasan untuk keperluan pribadinya. Selain itu, semua keperluan Dion, suaminya. Pisau cukur sekali pakai, permen menthol, sekaleng kopi, 2 kaos dalam, susu rendah lemak dan sekotak teh jahe.
Leli sendiri selalu cukup dengan teh biasa untuk minum di pagi hari. Kadang-kadang dia menggoreng nasi untuk dirinya sendiri atau bersama Dion. Tapi suaminya selalu ingin berganti minuman untuk sarapan di pagi yang berbeda. Karena itu dia perlu kopi, susu dan teh.
Leli berdiri santai di pinggir jalan. Menunggu taksi yang sedang mendekat. Lampu di atap mobil menyala terang sekali malam itu. Perempuan tinggi langsing, berkulit putih bersih itu mengangkat satu tangannya yang memegang tas plastik. Tangan satu lagi sibuk menjaga 2 tas sandang yang dia bawa bersama 1 lagi tas plastik tidak terjatuh.
Taksi berhenti tepat ketika pintu belakangnya berada di hadapan Leli. Dengan susah payah, pintu belakang mobil itu berhasil dibukanya. Satu persatu semua tas yang dia bawa diletakkan di jok belakang taksi. Leli kemudian masuk, duduk dengan tenang di jok belakang, menutup pintu dan tak lupa mengunci pintu di sisi kiri itu.
“Pancoran ya, Pak” taksi mulai bergerak. Tiba-tiba pintu kanan belakang dibuka dari luar. Seorang lelaki mendorong seluruh tas ke tengah hingga mendesak posisi duduk Leli. Baru saja dia ingin berteriak, seorang lagi masuk ke sisi kiri supir.
Dengan satu sentakan menggunakan alat yang tidak terlalu terlihat oleh Leli, orang yang baru duduk di depan telah mematahkan tombol kunci pintu di sisi Leli. Mobil bergerak maju. Leli panik.
Lelaki di sebelah kanannya tersenyum. Lelaki yang duduk di samping supir memutar volume suara dari speaker menjadi lebih kencang. Leli menggedor-gedor kaca jendela taksi. Tapi jalanan terlalu sepi untuk mendengar gedoran di kaca, apalagi suara teriakan Leli tertutup dengan suara musik.
Leli duduk merapat ke pintu mobil. Tidak tahu lagi apa yang bisa dia lakukan. Hanya menatap pada orang yang duduk di sebelah kanannya. Sebuah tabung dia keluarkan dari saku kemejanya.
Perempuan yang selalu menjaga kehormatan dirinya dengan memakai pakaian yang panjang dan tertutup mengangkat kakinya untuk menendang tangan lelaki itu. Tidak bisa dia lakukan karena, walaupun rok itu longgar tapi terlalu panjang. Sesuatu dari dalam tabung itu sudah disemprotkan ke wajah Leli dan seketika semua menjadi gelap.
Saat matanya terbuka, Leli sedang tidur di sebuah sofa. dalam sebuah ruangan yang sangat hening. Tanpa suara apa-apa. Bahkan terasa sangat kosong. Membuat Leli menoleh. Seluruh dinding itu ditempeli banyak sekali foto. Seorang sedang terduduk dan diikat di kursi. Kepalanya ditutup dengan kain, tidak diikat.
Leli duduk. Di belakang sofa ternyata sudah ada dua orang lelaki yang sangat besar. Tinggi, tegap dan menatap dingin ke Leli. Seorang perempuan dengan pakaian satin hitam, dengan belahan dada rendah dan rok selutut. Berjalan mendekati lelaki yang terikat di kursi itu.
Tutup kepalanya dibuka. Itu Dion! Leli tidak berani bergerak, tidak berani berteriak. Tidak ada gunanya sama sekali, karena pasti dua lelaki besar di belakangnya akan memegang erat saat Leli berdiri.
Dia menjaga kehormatan dengan berpakaian tertutup, maka dia juga harus menjaga kehormatan dengan tidak disentuh lelaki lain. Karena itu dia memilih untuk tetap duduk tenang.