Tetes demi tetes air infus masih menemani kesendirianku. Mata tertutup rapat, hidung tergantung alat bantu pernapasan.
Empat tahun sudah terbaring rapi di ranjang rumah sakit ini. Tak dapat menggerakkan lengan, kaki, kepala dan anggota tubuh lainnya. Tak dapat membuka mata, hanya terkurung dalam kelamnya hitam.
Namaku Litarani Prillya Joseva. Seorang gadis yang sedang menunggu ajalnya. Mengapa aku sepasrah itu? Entahlah, semua orang disekitarku juga sudah sangat pasrah akan keadaanku. Mereka bahkan telah mengikhlaskanku pergi selamanya, bahkan kedua orang tua ku pun sama.
Aku tidak mampu membuka mataku, apalagi berbicara. Tetapi, telingaku masih bisa mendengar. Itu sebabnya aku tau ada seseorang yang amat sangat menyayangiku. Dialah yang selama ini menolak untuk mencabut peralatan rumah sakit terkutuk ini. Hingga sampai detik ini, dia masih saja datang berkunjung menemani kekosonganku.
Dia kekasihku. Aliando Clanasta.CEKREK!!
Pintu kamar ini terbuka.
"Hayy.." Dia diam sejenak. Itu dia. Aku mengenal betul suaranya. Aku mendengar deru langkah kakinya yang sangat pelan.
"Ini genap mawar ke tiga ratus yg kuberikan kepadamu. Biar kuletakan mawar yang ini disamping bantalmu ya" Ohh mawar itu. Aku tak pernah melihat mawar sebanyak itu.
Dia tertawa kecil.
"Aku rindu kamu." Aku juga. "Aku rindu tawamu. Aku tau kamu kuat." Tangan kananku basah, kurasa ia menitikan air matanya, lagi.
"Lihat, kamu menangis. Itu sebabnya mengapa aku percaya kamu pasti mendengar semua ucapanku." Ia mengusap tetesan air matanya ditanganku, terasa sangat lembut. "Oh maaf maaf aku juga menangis ternyata." Ia tertawa sumbang. Sialnya aku tak bisa melihat ekspresinya baru saja, ia pasti lucu.
"Maafkan aku. Aku tak mau kamu selalu tersiksa seperti ini. Jadi, aku memutuskan untuk mencabut semua peralatan rumah sakit ini. Keluargamu 'pun sudah setuju, bahkan mereka sudah berniat mencabutnya cepat atau lambat.
Bukan.. Bukannya aku terlalu pasrah akan keadaanmu. Atau aku telah merelakanmu, bukan.. Aku, aku tak mau kamu tersiksa bila harus seperti ini lebih lama lagi.. Aku sudah harus melepas peralatan medis ini."
DEG!
Entah pisau apa yang telah menancap ulu hatiku. Aku sakit mendengar kalimatnya. Aku tidak tersiksa, aku bahagia meskipun harus berbaring seperti ini. Kumohon izinkan aku melihatmu walau untuk terakhir kalinya, Ali. Aku masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.
"Aku menangis lagi Prill hmm. Mungkin benar, Tuhan lebih menyayangimu daripada aku. Semua orang juga berkata seperti itu padaku. Aku sempat menentangnya. Tapi sekarang aku sadar memang Tuhan terlalu besar menyayangimu.. Makanya aku akan belajar mengikhlaskanmu.. Kukira, kau sudah harus tidur dengan tenang."
Setelah kalimat terakhirnya, aku merasakan sesak didada, bukan kalimatnya yang membuat ku sesak tapi sepertinya para medis berdatangan dan mencabut alat-alat rumah sakit yang menjadi sahabat keparatku ini. Ali serius dengan ucapannya.
Aku siap. Aku siap Tuhan.. Aku siap bila harus pulang kehadapanmu. Bila dengan cara mencabut peralatan ini Ali akan tenang, aku amat siap..
Hanya satu harapku, izinkan aku melihatnya walau untuk terakhir kalinya.Setelah beberapa menit para medis melepas alat alat ini. Sesak napas ku sedikit mereda. Aku merasa sudah tak berbaring lagi, kaki ku menapak tapi aku mati rasa. Mataku tak bisa terbuka barang sedikit. Telingaku yang masih berfungsi ini terasa hilang fungsi. Aku merasa diriku tak nyata.
Tiba-tiba kakiku terasa seperti menyentuh lantai halus dan dingin.***
Seperti biasa, aku mendengar decitan alat pendeteksi detak jantung disisi kiriku. Kukira alat alat keparat ini akan dicabut, tapi aku masih heran mengapa masih terdengar suaranya. Aku penasaran, aku sungguh penasaran.
Perlahan tapi pasti, aku mencoba membuka mataku. Sangat sulit, tapi aku berhasil mendapat segaris cahaya. Aku melakukannya lagi lebih kuat, kali ini jari-jari ku bergerak aku ingin sekali membuka mataku. Aku berhasil! Dan, aku mendapati banyak sekali mawar diruangan ini. Ada yang sudah layu dan warnanya pun mengusam.
Aku mengangkat tanganku, menyentuh mataku, memastikan apakah ia benar terbuka atau tidak, ternyata ya..
Inilah kali pertama mataku melihat dan tanganku bergerak setelah empat tahun berbaring. Aku terlampau bahagia."Prilly.. Prill.. Kamu membuka matamu! Dokter! suster!" Sosok itu. Ali. Dia berusaha memanggil dokter ternyata. Dan dokterpun masuk kekamarku ini, ia melayangkan stetoskopnya ke dadaku. Dingin. Akhirnya aku bisa merasakan lagi. Ya Tuhan..
Ali terlihat menggenggam ponselnya menelepon seseorang. Mungkin kedua orangtuaku. Ketika dokter keluar dari kamar ini, Ali pun mengikutinya pergi. Aku sendiri lagi.
Beberapa saat setelah mereka pergi, aku melirik ke sisi kanan bantalku. Ada sebuah mawar yang masih sangat segar. Masih harum, dan masih berwarna indah. Aku mencapainya, mengambilnya dan mendekapnya. Aku menangis. Aku rindu dekapan Ali, aku rindu dia.
Derap langkah kaki seseorang seperti menghampiriku. Mataku masih belum bisa melihat sempurna karena tertutup air mata. Dia mencium pucuk kepalaku.
"Happy wednesday sayang.." Ali tersenyum. Aku juga merindukan senyum itu. Sudah kebiasaan Ali dulu, setiap hari dia mengucapkanku selamat. Tapi saat aku sedang tertidur dia tak pernah mengucapkannya lagi.
"Happy wednesday too."
"Aku amat bahagia hari ini. Kau harus tau itu.. Ohya, apa kau ingat berapa lama kamu tertidur?" Aku menggeleng, Ali memberi jeda sedikit. "Kalau kuhitung-hitung sepertinya empat tahun lebih dua bulan. Dan mawar itu, itu dari aku. Kau suka?" Mengangguk tersenyum, aku amat bahagia.
"Syukurlah.. Sejujurnya, aku sudah berniat melepas alat-alat rumah sakit ini." Ia menunjuk monitor disisi kiriku. "Dan itu terjadi. Aku baru saja melepasnya. Tapi Tuhan memberikan mujizatnya. Kau sadar." Ia meteskan air matanya. Aku tak tega, aku mengangkat tanganku dan mengusap pelupuknya dengan jariku, menghapus cairan bening itu.
"Hentikan tangismu.. Aku telah berjanji padamu akan selalu ada disampingmu, apapun yang akan terjadi. Aku akan selalu mencintaimu. Mungkin benar Tuhan amat menyayangiku, tetapi ia memiliki cara sendiri dalam mencintaiku. Ali.. Aku ingin bertanya, bolehkah?" Aku melepas diamku dengan bertanya. "Apa perasaanmu masih sama? Mencintaiku seperti sedia kala?" Ali terhenyak. Aku takut dengan jawaban apa yang akan keluar dari bibir Ali.
"Apa tak cukup penantian ku selama empat tahun untuk selalu ada disampingmu? Kurasa kau tak butuh jawaban itu lagi. Tapi aku harus. Perasaan ku masih sama.. Aku MASIH mencintaimu Litarani Prillya Joseva.." Lembut penuh arti. Aku jatuh dihamparan kapas yang lembut. Aku bahagia.
"Dokter baru saja memberikan kabar. Dia bilang, keadaanmu sempat menurun drastis, ia bahkan sempat menyerah atasmu. Tapi aku tak membiarkannya, aku tetap mengharapkan kesadaranmu.." Sungguh, jika kalian melihat wajahku saat ini, pasti kalian akan menemukan pipiku yang kemerahan.
"Boleh aku memelukmu, Prill?" Aku refleks membuka tanganku lebar-lebar ia memelukku. Aku rindu pelukan ini. Aku memejamkan mataku, tenang. Ali melepas pelukannya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku belakang jeansnya. Setangkai mawar putih. Ia memberikannya padaku.
"Aku berharap mawar putih ini akan menjadi mawar kesedihan terakhirku untukmu. Tiada lagi luka, tiada lagi sakit. Aku percaya kamu mampu melewati ini semua.Mawar putih melambangkan cinta sejati, kemurnian, kesungguhan dan kesucian. Aku mencintaimu, cintaku murni hanya padamu. Aku bersungguh sungguh akan dirimu."
Ali merogoh sakunya lagi. Mengeluarkan kotak kecil berwarna merah berbahan bludru membukanya dan menampilkan sebuah benda berbentuk lingkaran, itu cincin. "Aku percaya cinta ini suci dan akan selalu abadi. Litarani Prillya Joseva, will you marry me?"
~End~
Bekasi,
27 Agustus 2016
Natasha
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Rose
Short Story[1/1] "Apa tak cukup penantian ku selama empat tahun untuk selalu ada disampingmu? Kurasa kau tak butuh jawaban itu lagi. Tapi aku harus. Perasaan ku masih sama.. Aku MASIH mencintaimu Litarani Prillya Joseva.." Dan disinilah mawar kesedihan terakhi...