Next to you

63 10 2
                                    

Sinar rembulan yang remang-remang menemani makan malam Raya kali ini. Bibi Nor, asisten rumah tangga keluarga Zioletta, sengaja menyiapkan makan malam Raya di dekat kolam renang yang berada di lantai dua rumah itu.

Seperti malam-malam sebelumnya, Raya kembali merasakan meja makan yang sepi. Hanya ada dia dan beberapa makanan lezat buatan Bibi Nor. Kedua orangtuanya terlalu sibuk. Raya dapat menghitung jari berapa kali ia dan kedua orangtuanya berkumpul dan makan bersama didalam sebulan. Empat atau lima kali? Mungkin saja.

Raya kadang tidak mengerti dengan pemikiran kedua orangtuanya. Sebegitu pentingkah pekerjaan mereka sehingga menghabiskan waktu sedikit saja bersamanya dirumah tidak ada waktu? Padahal setahu Raya, kakek dan neneknya mewariskan banyak harta untuk mereka sebelum keduanya meninggal. Jadi tidak ada alasan untuk takut jatuh miskin.

Sewaktu Raya kecil, Raya tidak paham dengan aktivitas orangtuanya yang selalu pergi disaat Raya belum bangun, pulang disaat Raya sudah tertidur, dan lebih memilih menghabiskan waktu liburan dengan berkutat bersama komputer-komputer dan file penting.

Raya sudah cukup muak. Orangtuanya benar-benar bagaikan robot. Hidup dan dapat beraktivitas namun tidak memiliki kasihsayang.

"Neng, ini ada telfon dari Nyonya" suara Bibi Nor mengagetkan lamunan Raya.

"Halo, Bun?"

"......iya nanti dokumennya kamu antar keruangan saya dulu, iya.. "

Raya memutar bola matanya jengkel walau ia tahu Bundanya tidak akan melihat.

"Bunda?" geram Raya tertahan.

"... Oke baiklah-- ehh halo sayang? Kamu udah makan?"

Raya mendengus kesal. Selalu begini dan begini. Bahkan dalam bertelepon saja, Bundanya tidak memiliki waktu yang benar-benar untuknya.

"Udah Bun"

"Baguslah, Ayah sama Bunda pulangnya lusa ya, sayang. Kamu mau oleh-oleh apa?"

"Terserah Bunda"

"Em.. Sudah ya sayang. Bunda ada meeting sebentar lagi. Ayah dan Bunda mencintaimu, Daah.."

Tutt.

"Aku juga mencintai kalian" lirih Raya.

Terkadang Raya merasa iri. Iri melihat anak-anak diluaran sana yang dapat menghabiskan banyak waktu bersama orangtuanya. Iri melihat mereka yang hidup sederhana tetapi berkelimpahan kasih sayang. Sedangkan ia, segala yang ia butuhkan tersedia, segala yang ia mau dapat ia miliki, kecuali keharmonisan keluarga.

Raya beranjak menuju kamar tanpa menyentuh makanannya. Ia tiba-tiba menjadi tidak selera saat mendengar suara Bundanya. Besar harapannya ingin menikmati banyak waktu bersama Bunda walau sekedar dari telepon. Tetapi harapan tinggallah harapan. Bundanya memiliki kegiatan yang lebih penting dibanding meladeni Raya berbicara.

Raya merebahkan tubuhnya diatas kasur empuknya. Ia merasa lelah. Lelah dengan segala sandiwara yang ia perankan selama ini. Menjadi sosok yang sok tegar dihadapan orang banyak. Tertawa, tersenyum, seakan tidak ada beban membuatnya semakin terlihat rapuh. Tetapi dibanding memperlihatkan kesedihan itu, ia akan terlihat lebih rapuh. Jadi akan lebih baik jika ia sedikit ber-drama.

Iseng-iseng Raya men-check akun sosmednya.

Tidak ada yang penting, batinnya.

Ia kembali melempar handphone nya ke ujung kasur.

Ping!

Lagi, ia meraih handphonenya.

Karenina : Rayaaa, besok ada pertandingan basket. Lo ikut nonton yaa? ;)

With you♥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang