"Sini dadunya, sekarang giliran gue."
Aku mulai melempar dadu yang barusan Amel berikan padaku. Sekarang, kami sedang bermain monopoli. Ya, monopoli. Aku rasa kalian sudah tau apa itu monopoli. Kalau tidak tau, sungguh malangnya masa kecil kalian.
"Gotcha!" pekik Amel saat bidak punyaku berhenti di tanah miliknya.
"Ah sial! Masa gue kena lagi. lama-lama bisa bangkrut gue!"
Aku memberikan $10 2 lembar kepada Amel. Karena harga tanah yang ia miliki seharga $20. Permainan udah 2 kali putaran, dan aku selalu saja kalah. Tidak biasanya aku kalah main monopoli, tapi kenyataannya hari ini aku malah kalah banyak.
"Jangan cemberut dong, Ra. Berbahagialah karena hari ini gue menang terus," ucap Amel dengan bangga.
Aku hanya memutar kedua bola mataku kesal. Sekarang giliran Asya yang melempar dadu, dan ternyata bidiknya juga berhenti di tanah milik Amel. Ah sial! Amel bakalan kaya. Ku lihat raut wajah Asya yang mulai cemberut, karena ia harus mengeluarkan $500.
"Aduh, kayaknya dewa Neptunus lagi baik sama gue," ucap Amel sambil mengibaskan uang kertas ke wajahnya.
"Masih ada gue. Jangan gegayaan dulu lo," sahut Mila. Tangannya melempar dadu, dan sepertinya dewa Neptunus memang sedang berpihak kepada Amel. Buktinya Mila yang jago bermain monopoli saja harus mengeluarkan $500 2 lembar.
"Hahaha..." Amel tertawa puas melihat wajah kami yang ditekuk.
Tok... tok... tok...
Aku mengabaikan Amel yang sedang tertawa. Lalu bangkit dari dudukku untuk membuka pintu. Ku lihat Mama berdiri di depan pintu dengan senyum yang merekah. Sepertinya Mama lagi bahagia.
"Lagi main?" tanya Mama sambil melihat ke dalam kamarku.
"Iy-"
Baru saja aku mau menjawab, ketiga temanku langsung memotong ucapanku. "Hai tante!" sapa ketiga temanku serentak.
"Hai guyss," sahut Mama sambil tersenyum lembut.
"Kenapa ma?" tanyaku langsung. Pasti ada sesuatu makanya Mama datang ke kamarku.
"Turun ke bawah sebentar yuk, ada tamu yang mau ketemu sama kamu," ucap Mama.
"Tamu?" ulangku. Keningku otomatis langsung mengkerut. Siapa? Sangat mustahil kalau ada tamu yang mau ketemu sama aku. Paling juga, Amel, Mila, dan Asya yang selalu hampirin aku.
"Udah, turun aja dulu... Amel, Asya, Mila, tante pinjam Ora dulu ya, sebentar." Mama berucap kepada ketiga temanku sambil menarikku keluar dari kamar.
"Jangan curang ya.. lo, lo pada!" Aku memperingati ketiga temanku sebelum benar-benar meninggalkan kamar.
Sesampainya di bawah, aku bertanya kepada Mama. "Emang siapa sih, tamunya?"
Mama merangkulku, lalu menepuk bahuku pelan. "Tante Lia dan anaknya," jawab Mama masih dengan senyum diwajahnya.
Aku hanya mengangguk, mengikuti Mama ke ruang tengah. Di sana, aku melihat seorang wanita seusia Mama dan seorang gadis seuisaku, mungkin.
"Maaf ya, Lia. Sudah buat kamu lama menunggu. Ini anaknya, sudah aku bawa," ujar Mama kepada wanita yang bernama Lia itu.
Aku langsung menyalami wanita itu, "Salam kenal tante, aku Ora." Aku memperkenalkan diriku.
"Salam kenal juga, Ora. Kamu sudah besar ya," ucap wanita itu sambil mengelus rambutku lembut.
Aku tersenyum menanggapinya, lalu beralih kepada gadis disampingnya. Mataku melebar, saat melihat gadis itu. Gimana tidak lebar. Dia Levi, cewek famous di sekolah. Oke, sebenarnya mungkin dia tidak kenal aku. Tapi, aku tidak suka dengannya karena status dia di sekolah adalah seorang bad girl.
KAMU SEDANG MEMBACA
A B O R A
Teen FictionDingin, sombong, cuek, kasar. Begitulah julukan seorang Abora di sekolah. Tapi, siapa peduli. Aku nggak peduli dengan orang-orang mau menilai aku kayak gimana. Dan mereka yang bilang aku kayak gitu, berarti belum mengenal Abora yang sebenarnya. ...