Benci

292 22 11
                                    

Hhhhh, aku letih dengan semua tugas ini. Bayangkan saja, aku harus mengerjakan 4 tugas kelompok dan 6 tugas individu di minggu ini. Andai, aku bisa lepas dari sekolah ini. Bukan karena Ayah dan Ibuku, mungkin aku tak akan bersekolah disini. Well, sekolah ini bukannya tidak bagus. Entah karena akunya, atau aku memang tidak suka bersekolah di tempatku bersekolah sekarang.

Aku meletakkan tasku sembarang dan menghempaskan badanku ke kasur. Ah, ingin sekali aku berteriak, melepaskan penatku sebentar saja.

"DEVIAN!"

Ah, ini pasti Mama. Bisa tidak sih tidak menggangguku sebentar saja?

Ya. Aku benci dengan Mama. Mengapa tidak? Aku sangat dekat dengan Papaku dulu. Aku bahkan tidak pernah merasa di perhatikan oleh Mama. Sehari hari hanya Papa yang mengerti Aku, mendengarkan Ku, bahkan memelukku ketika menangis. Sementara Mamaku? Iya bahkan terlihat tidak peduli padaku. Iya terlalu sibuk akan pekerjaannya sebagai salahsatu bagian dari Kedutaan Besar Prancis itu. Aku dan Papa sering ditinggal apabila Mama pergi ke luar negeri. Tapi selama ada Papa, aku fikir aku akan baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, Mama memutuskan untuk bercerai dengan Papa dan Mama memenangkah hak asuhnya pada saat itu.

"DEVIAN! APALAGI YANG KAU TUNGGU? MAMA INGIN BICARA!"

Aku malas beranjak dari kasur. Tapi Aku tak suka mendengar suaranya berteriak. Sok tegas. Telingaku terasa sakit.

"Apalagi yang Mama inginkan?" Akhirnya aku mendatangi mama. Aku malas menatap mama. Menambah kebencian.

"Sampai kapan terus seperti ini, sayang?"

APA? APA AKU TAK SALAH DENGAR? MAMA MEMANGGIL KU SAYANG?

"Jangan munafik, Ma. Toh, Mama gak gak peduli sama Devian. Mama kemana aja selama ini?"
Kata kata 'sayang' dari mamaku membuatku semakin sakit.

"Devian, cukup! Kamu gak akan pernah ngerti"

"APA LAGI YANG HARUS DEVIAN NGERTIIN MA? MAMA GAK AKAN PERNAH NGERTI. MAMA GAK AKAN PERNAH NGERTI KALO DEVIAN PENGEN KETEMU PAPA! MAMA GANGERTI KALO MAMA UDAH BIKIN HIDUP DEVIAN HANCUR! MAMA YANG GAK NGERTI!"

Aku masuk ke kamarku dan membanting pintu kamarku melampiaskan emosi. Aku benci berbicara dengan Mama. Aku benci. Aku ingin kabur dan mencari Papa. Papa dimana? Pa, kalo Devian tau rumah Papa, Devian bakal dateng ke Papa, Devian gak mau tinggal sama Mama, Pa.
Ah sial. Aku menangis lagi. Aku tak ingin menangis. Aku ini laki laki. Aku ingin seperti papa. Menjadi laki laki kuat, dan hebat. Papa yang baik hati. Yang sayang sama Devian. Tidak seperti Mama.

***

Tak terasa sudah pagi. Aku habis menangis semalam. Aku tak ingin teman teman ku sadar aku habis menangis.

"Woi, Dev!"

Aku menoleh ke Belakang, mencari darimana arah suara yang memanggilku. Ah, itu Rudy. Teman sebangku ku.

"Eh, Oi Rud"

"Having problems with your Mom again, huh?"

Aku terdiam. Kurasa, Rudy sudah tahu jawabannya.

"Gak usah gitu gitu amat lah Dev, kalem aja. Nyokap lo itu kan kesalahan lama. Apa salahnya sih damai? Sama Nyokap sendiri loh, Dev"

Aku menatapnya sengit. Aku memilih diam. Rudy sebetulnya sudah tahu ceritaku. Ia sering melihat aku dan mama bertengkar. Ia tau mengapa aku begitu marah kepada mama. Bahkan Rudy mengerti bahwa sebetulnya aku sangat merindukan papa.

Rudy bahkan tau mengapa aku terdiam. Aku akan terdiam bila; aku, tidak suka dengan topik ini. Aku benar benar tidak suka bila membicarakan topic tentang mama.

Ya, bahkan benar benar benci.

PAPERCRANESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang