"Aku adalah bagian dari harapanmu. Harapanmu yang gila. Harapanmu yang mustahil. Coba pikirkan. Bagaimana mungkin kau mengharapku kembali muncul dihadapanmu sebagai manusia biasa? Sedangkan aku hanyalah roh yang telah terpisah dari jasadnya? Bagaimana mungkin kau mengharapku tuk kembali bisa menyentuhmu dengan normal? sedangkan untuk menemuimu dengan tubuh transparan saja adalah suatu kemustahilan? Namun tak apa, sebentar lagi, akan kukabulkan harapan anehmu itu. Karena baru saja, kesempatan langka itu akhirnya mau bertamu padaku untuk jangka waktu 24 jam."
.
.
11.59 Malam.
Malaikat-malaikat itu menghampiriku. Tersenyum seraya menyapa ramah (seperti biasa) padaku. "Hai Rinai.. Siapkah engkau menjadi Cinderella dengan akhir yang kau tau akan menyedihkan?"
Aku mengangguk perlahan. Yakin dengan keputusan yang kubuat. Aku tau ini akan menjadi perjalanan yang menguras perasaan. Lebih menyakitkan daripada kerinduan yang diiringi oleh keasadaran akan kemustahilan untuk bertemu. Setidaknya itulah yang selama ini kurasakan semenjak 'hidup' disini. Tentang keputusan yang kubuat ini. Sungguh, mungkin jika digambarkan rasanya akan seperti kau hidup namun kau tau pada jam keberapa menit keberapa bahkan detik keberapa kau harus angkat kaki dari dunia ini. Bayangkan bagaimana perasaanmu ketika kau tau pada hari apa pukul berapa bonus dalam waktu dekat ini juga kau harus meninggalkan orang-orang yang selama ini selalu ada dan tulus menyayangimu apa adanya. Membayangkannya saja akan terasa sangat menyesakkan bukan? Apalagi kau harus mengalaminya.12.00 Tengah Malam.
"Waktunya sudah tiba Rinai, silahkan pergi ke bumi, kunjungi tempat dan seseorang yang ingin kau habiskan waktu dengannya seharian ini"Aku mengangguk. Menelan ludah. Dan menutup mata rapat-rapat. Degupan kencang masih terasa disekitar dada. Aku setengah percaya, bahwa pada malam ini juga, aku akan menemuinya.
.
.Saat membuka mata, aku telah berada disebuah taman yang terletak persis seperti dihalaman rumah seseorang. Dan ajaibnya lagi, aku memakai seragam sekolah dimana pakaian itu merupakan pakaian terakhirku dibumi ini sebelum aku meninggal. Bedanya, disana sudah tidak ada bercakan darah lagi, hanya baju putih polos berlengan panjang dengan rok abu-abu selutut. Aku sempat bingung tentang, kenapa aku malah berada disini dan.. Tempat ini dimana sebenarnya? Namun, belum sempat aku memikirkannya lebih jauh, seseorang yang membelakangiku dengan suara renta menegurku terlebih dahulu.
"Astaga nak.. Untuk apa tengah malam datang kesini.. Dan, astaga... Bahkan kau masih memakai seragam sekolah! Apa kau kesas..."
Aku membalikkan badan untuk melihat wajah seseorang yang menegurku itu, niatku tadinya, mungkin aku bisa bertanya tentang dia. Namun, seseorang itu malah terkejut dan menutup mulutnya untuk menahan sebuah teriakan. sehingga kalimatnya barusan pun tak sempat Ia selesaikan.
Aku mengernyitkan dahi. Jangan-jangan orang ini tau kalau aku pernah mati dan kini aku malah tiba-tiba muncul dihadapannya. dihalaman rumahnya pula. Tapi jujur, aku tak pernah mengenal kakek tua ini. Aku juga tak pernah mengenal rumah ini.
"Ri...nai..." Lirihnya gemetar. Tangannya berusaha menggapaiku. Kini, tangannya sempurna menyentuh bahuku.
"Ya Tuhan..." Lirihnya lagi yang kini diiringi oleh isak tangis membuatku semakin jauh dari kata mengerti.
"Kakek ini siapa...? Kenapa tau nama saya?" Tanyaku sesopan mungkin. Ia menyeka air mata yang tersisa di sela kelopaknya.
"Jadi benar? Kamu Rinai Arraina?" Tanyanya lagi menyelidik. Aku mengangguk mengiyakan walau sedikit curiga.
"Untuk apa kau datang kesini lagi?" Tanyanya masih dengan mata yang berkaca-kaca. Aku masih belum bisa melepaskan kerutan dahi yang sedari tadi kupasang diwajah ini. Aku masih penasaran, sebenarnya siapa sosok kakek tua renta ini?
"Saya.. Tengah mencari seseorang. Sudah beribu-ribu tahun saya tidak menemuinya, saya.. Amat merindukannya." Kakek itu menyimak kalimat yang kuucapkan lalu mengangguk hendak kembali bertanya.
"Beribu-ribu tahun? Siapa yang kau cari disini? Apa urusanmu dengannya belum selesai, hingga kau pun rela jauh-jauh datang kesini?"
Aku menepuk dahi menyadari suatu kesalahan. Beribu-ribu tahun di alam yang kutinggali saat ini sama saja seperti berpuluh-puluh tahun di alam yang 'pernah' kutinggali ini.
"Daripada bicara disini.. Gak baik juga dini hari begini, bagaimana kalau kau istirahat dirumah ini saja, kita lanjutkan besok pagi.." Ucapnya menegurku. Aku menggeleng refleks.
"Kek.. Saya tidak punya banyak waktu! Saya harus bertemu seseorang malam ini juga. Waktu saya tidak banyak. Waktu saya terbat..."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST ONE DAY
Non-FictionNamaku Rinai. Dan aku memiliki seorang kekasih. Sudah beribu-ribu tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Rindu. Aku tau, mungkin hanya itu yang bisa kulakukan selamanya, tanpa pernah bisa bertemu dengannya lagi, tanpa pernah bisa tuk menggapai uju...