Aku tidak pernah tahu sejak kapan aku mulai memperhatikannya. Ini terlihat begitu aneh di mataku. Dia tidak terlihat seperti seorang pekerja kantoran atau karyawan magang.
Dia hanya tampak seperti seorang bocah yang polos. Bagiku.
Akhir-akhir ini aku sering melihatnya. Duduk di cafetaria dengan segelas lemon tea dan sepiring waffle strawberi. Dia selalu sibuk dengan buku di tangannya. Bahkan surai hitam yang berjatuhan di keningnya tak sedikitpun di hiraukannya.
Aku akui satu hal.
Aku tertarik padanya.
Bukan. Aku bukan berondong tua atau tua-tua keladi atau apapun itu sebutannya.
Aku hanya seorang laki-laki berumur 27 tahun yang terjatuh dalam kebutaan cinta.
Yang tak pernah memandang cinta itu jatuh pada orang yang tepat atau tidak. Yang tak menghiraukan cinta itu berlabuh untuk orang yang benar atau tidak. Yang tak pernah melihat jika cinta itu harus jatuh untuk seorang wanita atau laki-laki. Dan aku hanyalah seseorang yang selalu memperhatikan apapun yang membuatku tertarik.
Tidak terkecuali Dia.
Sudah hampir seminggu ini aku sering memperhatikannya. Diam-diam.
Selalu di tempat yang sama. Dengan menu yang sama sekaligus buku yang terselip di sela-sela jemarinya.
Jika aku tebak, dia pasti berumur 21 tahun atau 22 tahun atau mendekati itu.
Aku ingin menyapanya, ingin mendekat dan ingin berbincang dengannya. Tapi sayang, kesempatan tak pernah berpihak. Meskipun aku datang ke cafetaria kantor seorang diri, tapi ujungnya teman-teman lain di bagian staff pasti menghampiriku.
Tapi tidak kali ini.
Kantin terlihat sepi. Mungkin akhirnya takdir memang ingin mendekatkan kami.
Usai barcode dan mengambil catering aku bergegas menuju mejanya, melupakan makanan penutup dan aku hanya menyambar segelas air putih. Dia bahkan tidak menyadari kedatanganku. Ketika aku meletakkan nampan catering dan mengambil alih tempat duduk di hadapannya. Dia masih tetap membaca bukunya.
Baru kali ini aku di acuhkan.
Hanya setelah aku berdehem dan mengintip buku yang di bacanya dari atas kepalanya, dia terusik. Diturunkannya buku yang menghalangi wajahnya lalu menatapku.
Satu yang bisa ku katakan. Dia memiliki mata yang jernih dan teduh, meskipun tersembunyi di balik helaian rambutnya yang menutupi kening.
"Boleh nggak duduk di sini?" tanyaku.
Dia tersenyum lantas mengangguk. Di letakkannya bukunya begitu saja, kemudian ia menyeruput lemon tea miliknya. Aku memilih duduk juga, masih tersenyum. Dalam hati terbendung bahagia yang tak terkatakan karena akhirnya aku bisa bertegur sapa dengannya.
Mataku tanpa sengaja melirik sampul buku yang sedang di bacanya. Aku sempat terkesiap melihat judul buku itu.
Lelaki Terindah by Andrei Aksana.
Aku tidak yakin, tapi pemikiranku mengatakan kalau dia bisa saja sama sepertiku. Atau justru sama seperti tokoh dalam cerita Lelaki Terindah itu sendiri. Senyum tersisip di sudut bibirku.
Aku mulai mengaduk kuah sayur di dalam tempat makan tetapi mataku jelas tertuju padanya. "Aku pernah baca buku itu, tapi kurang begitu suka." Ungkapku dan berhasil mendapatkan perhatiannya.
Bisa ku lihat dia mengerutkan kening. Seolah bertanya lewat ekspresi wajahnya kenapa aku tidak menyukai buku itu. "Aku mencintaimu karena aku mencintaimu. Intinya begitu. Puisi-puisi di dalamnya juga bagus. Tapi sayang, eksekusi untuk Valent dan Rafky terlalu.... Sebut saja tragis. Itu buku kan keluarnya udah lama. Setau ku di toko buku juga udah jarang sekarang. Kamu baca ulang lagi?"
YOU ARE READING
Aku Bukan Malaikat
Short StoryReksa Mandala Putra Triatmaja Aku adalah... Seorang lelaki yang tak pernah memandang cinta itu jatuh pada orang yang tepat atau tidak. Yang tak menghiraukan cinta itu berlabuh untuk orang yang benar atau tidak. Yang tak pernah melihat jika cinta it...