[cerita ini terinspirasi dari lagu Beatles yang judulnya Baby's in Black. bisa didengar di multimedia. dan cerita ini buatan aku sendiri dan hanya di-post di sini. jadi, kalau cerita ini ditemukan di tempat lain, mereka plagiat wkwk]
Lonceng di atas berbunyi saat aku mendorong pintu. Aku melangkah masuk, kemudian menutup papan di belakangku. Kusapukan pandangan ke sekeliling. Dia di sana. Gadis yang tidak kukenal, namun mataku selalu mencarinya. Gadis yang selalu mengenakan warna hitam.
Aku tidak tahu banyak mengenai gadis itu. Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia suka warna hitam.
"Pagi, Bung," sapa lelaki yang berada di balik meja bar. Aku mengangguk singkat dan berjalan ke arahnya. "Seperti biasanya?" tanyanya.
Aku mengangguk lagi. Aku duduk di hadapannya yang sekarang berkutat dengan air panas dan bubuk teh susu. Kubungkukkan badan, dan kutumpukan sikutku pada meja bar. Kugosokkan kedua telapak tanganku agar hangat.
"Cuaca belakangan ini kurang bersahabat, eh?" tanyanya, menunjuk telapak tanganku.
"Ya," jawabku. "Sudah musimnya."
Lelaki di hadapanku menuang air panas dari teko ke dalam cangkir putih, dan perlahan, air berwana cokelat naik semakin tinggi dari dasar cangkir. Lelaki itu kemudian mengambil sendok dan mengaduk-aduk tehku.
"Ini dia," kata Jo, menyerahkan cangkir itu.
Aku meraihnya dan menyesapnya sedikit-sedikit. "Sangat pas meminumnya di cuaca seperti ini," komentarku.
"Aku tidak keberatan kalau kau mau memesan cangkir kedua," kata Jo, kemudian tertawa.
Aku menyapukan pandangan ke sekeliling lagi. Gadis itu masih di sana, di salah satu sudut ruangan. Matannya menatap ke luar jendela. Diam-diam, mataku terus terpaku ke arahnya.
"Dekati dia," kata lelaki di balik meja bar. "Kau selalu tanpa sadar mencarinya setiap masuk ke sini."
Aku berpaling menatap Jo. "Aih, tertangkap basah," kataku, lalu tertawa.
Lelaki itu tersenyum mengejek. Kemudan dia mengangkat telunjuknya, seperti baru mendapat ide. "Hei, tawari ini." Dia bergerak menuju sisi kanan bar dan mengangkat nampan kayu dengan teko kecil di atasnya. "Dia selalu meminum dua cangkir. Sekarang baru cangkir pertamanya. Sebentar lagi akan habis."
"Ide bagus," kataku.
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia suka warna hitam dan dua cangkir teh tawar.
Aku bangkit dari kursiku dan meraih nampan itu. Dengan hati-hati, kubawa nampan bersamaku menuju meja gadis itu berada.
"Permisi, Nona," kataku. "Kau menginginkan cangkir kedua?" Aku memasang senyum.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari luar jendela, gadis itu berbisik, "Ya, tuanglah."
Aku menuang teh itu ke dalam cangkirnya. Sekarang, cangkir itu kembali penuh. Tanpa mengatakan apa-apa, si gadis menyesap satu kali teh itu.
Hei, tidak ada terima kasih? Tatap aku!
Aku bergegas kembali ke meja bar. "Mengapa gadis itu tidak mau menatapku? Padahal aku menunggu saat-saat itu. Barangkali dia akan jatuh cinta." Kuletakkan nampan cokelat ke atas meja.
Jo mendengus. "Aku turut berduka," guraunya. "Kalau begitu, buat dia menatapmu. Angkat cangkir tehmu dan minumlah di mejanya."
Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk-angguk. Kugenggam cangkir putih milikku dan kulangkahkan sepasang kakiku-lagi-lagi-menuju meja gadis itu berada.
"Kursi ini kosong?" tanyaku, menunjuk kursi di seberangnya.
"Ambil saja," jawabnya.
Alih-alih mengambilnya, aku mendudukinya.
Dan, gadis itu akhirnya berpaling dari jendela.
Detik matanya menangkap wajahku, kedua bola itu terpaku.
Yang kutahu mengenai gadis itu: dia suka warna hitam, dia suka dua cangkir teh tawar, dan dia terpaku saat menatapku.
Hah. Kubilang juga apa. Barangkali dia akan jatuh cinta.
Sebuah perasaan hangat menelusup ke dadaku. Aku menarik sudut kanan bibirku ke atas. "Hei," sapaku.
Gadis itu masih terpaku menatapku. Bibir mungilnya terbuka sedikit. Namun, tidak ada sepatah kata yang keluar darinya.
Aku menyesap tehku. "Siapa namamu? Aku sudah sering melihatmu di sini, namun kita belum pernah berkenalan," kataku, kemudian tertawa kecil.
Gadis di hadapanku mengulas senyum singkat. Dia kembali menatap jendela. "Aster," bisiknya.
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia suka warna hitam, dia suka dua cangkir teh tawar, dia terpaku saat menatapku, dan namanya adalah bunga yang melambangkan cinta dan kesabaran.
"Nama yang indah," kataku, "seperti pemiliknya."
"Terima kasih," katanya.
Aku tersenyum. Dan gadis itu tidak mengatakan apa pun lagi, hanya menatap ke luar jendela dan sesekali menyesap tehnya.
Aih, gadis ini. Mengapa dia diam saja? Padahal dia terpaku begitu saat pertama kali melihatku.
Aku mengubah posisi dudukku. Kulipat tanganku di atas meja, dan kucondongkan badanku ke depan.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh," kataku. "Setelah ini, kau ke mana?"
"Kenapa, kau mau ikut?" tanyanya. "Kau mungkin akan bosan."
"Ya," kataku. "Tidak apa-apa."
Maka, kami menghabiskan minuman kami masing-masing. Aku berbaik hati membayar pesananku dan gadis itu. Kami melangkah keluar dari tempat itu, dan kubiarkan Aster berjalan di depanku, menuntunku menuju sebuah tempat. Bersama-sama, kami menembus udara dingin.
Lambat laun, aku sadar, dia menuntunku menuju sebuah makam.
Aku membaca nama yang tertera di batu nisan. Alex. Siapa pun Alex itu.
"Mengapa kau ke sini?" tanyaku.
"Karena aku ingin berkencan dengan kekasihku." Gadis itu membungkuk dan mengecup nama Alex. "Hei. Kau menunggu lama, ya?"
Apa yang sedang kusaksikan?
Gadis itu duduk di samping makam. "Hari ini aku bertemu seorang lelaki yang mirip sekali denganmu. Aku benar-benar terkejut. Kukira, kau terbangun. Namun kemudian lelaki itu menanyakan namaku, dan aku tahu dia bukan kau."
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia terpaku saat menatapku karena wajahku mirip dengan mantan kekasihnya.
"Sebelum ke sini, aku meminum dua cangkir teh tawar. Seperti dirimu, sebelum kau ke sini. Walaupun rasanya pahit, aku tetap akan terus meminumnya."
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: mantan kekasihnya meminum dua cangkir teh tawar sebelum kematian menghampirinya.
"Omong-omong, aku memakai baju baru hari ini. Kau tahu, semenjak kau pergi ke sini, seluruh isi lemariku berwarna hitam. Padahal, tadinya sama sekali tidak ada warna gelap di lemariku. Kau benar-benar pintar memaksaku mengenakan hitam."
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia mengenakan warna hitam untuk pergi ke makam.
"Aster," panggilku. Apakah dia membawaku ke sini untuk menyaksikannya melakukan ini?
Tidak mengacuhkanku, dia berkata, "Ah, ya. Kau dengar itu, Alex? Namaku sekarang Aster. Kau tahu, kan, arti bunga aster? Aku memberimu aster. Dalam kasus ini, aster tersebut adalah diriku, Aster. Aku setia denganmu."
Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia tidak suka warna hitam, dia tidak suka dua cangkir teh tawar, wajah mantan kekasihnya mirip denganku, dan namanya adalah bentuk kesetiaan terhadap mantan kekasihnya yang sudah mati.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
About the Girl Who Dressed in Black
Historia Corta[1/1] Hal yang kutahu mengenai gadis itu: dia suka warna hitam.