Event malam Minggu tanggal 16 Januari 2016
Dimulai pukul 19:25-21:29 WIBAwalnya cerita ini dibuat untuk cerita angst. Namun sepertinya jauh :D
Penulis yang terlibat: eniristiani, femylaa, anjanidm, indrindahsr, GreenBagsGirl17, AYUTIEN, jihandwestlife, ihardii, Linskyer dan Dndrn_
Telah mengalami editing, namun jauh dari kata sempurna. Mohon KRISAR-nya :)
-
-
-
B E R T E M U M A S A L A L U
"Saat petemuan kita menjadi titik balik mengenang luka."***
HARI ini mataku nyaris dipenuhi oleh air mata begitu menemui sosok pria yang sudah tak kutemui bertahun-tahun. Ingin sekali rasanya aku berlari menemuinya, kemudiam memeluknya dan berkata "Aku merindukanmu." Tapi apa daya dia tidak mau melihat keberadaanku.
Aku hanya mampu menuangkan kerinduan ini dengan menatap mata indahnya, tanpa berani memeluknya erat walau kerinduan itu menyesakkan.
Perawakannya sudah berbeda dari tahun terakhir aku bertemu dengannya.
Dia menjadi semakin tampan, tinggi, dan berkharisma. Tapi, dia berubah. Sifatnya sudah tidak seperti terakhir kali aku bertemu dengannya.
Jarak dan waktu mirip seperti malaikat pencabut nyawa. Dia datang untuk memisahkan cinta dari rohnya, meninggalkan janggal yang aku benci. Aku dan dia kini menjadi dua kapal yang saling asing, yang jauh jaraknya di pisah laut tak bertepi.
Dia yang jauh membuatku tau bahwa dunia kami yang berbeda. Telah dipisahkan walaupun begitu aku ingin selalu menunggunya di tepi dermaga. Bukan cintaku yang salah tapi takdir yang tak berpihak padaku.
Aku selalu berharap bahwa mungkin, ada secercah harapan untuk aku bisa bersama dengannya. Namun, takdir berkata lain.
Lalu apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menyalahkan takdir? Bukannya itu sudah merupakan garis jalan hidupku? Lantas, haruskah aku menyerah? Tapi aku masih kuat, aku belum ingin menyerah.
"Bisakah aku berbicara sebentar saja?" ucapku memberanikan diri. Kuputus urat Maluku sebagai bukti rasa rinduku yang meluap. Kini dia yang membelakangi posisiku menoleh.
Tatapannya yang dingin menghujamku. Dia yang selama ini ingin kutemui tampak berbeda. Dia bukan lagi sosok yang lembut tabiatnya.
"Lima menit," ucapnya dengan acuh.
Aku menelan ludah, begitu tatapannya beberapa menit terjatuh ke tepat manik mataku, aku hanya sanggup berucap, "Bagaimana kabarmu?"
Dia mendengus, membuatku batinku tersinggung. "Hanya itu yang ingin kau sampaikan? Benar-benar tak berguna."
Aku terdiam. Tidak berguna katanya? Ucapannya begitu menusukku. "Apa--apa kau baik-baik saja selama ini? Aku--"
"Sudahlah, sepertinya pembicaraanmu sangat tidak penting." Dia nyaris beranjak kalau saja, aku tidak menahan lengannya. Kau harus tahu kalau itu adalah gerakan reflek. Itu tak ada dalam sekenario yang sebelumnya kususun.
"Tunggu, masih ada lagi yang ingin aku bicarakan," kataku takut-takut.
"Apa?" tanyanya sambil mendelik kesal ke arahku. Seolah tak bisa aku berkata, aku menunduk menyembunyikan mataku yang mulai berkaca. Melihatnya, membuat rasa rinduku memuncak.
"Tidak ada yang ingin dibicarakan lagi? Ya sudah," katanya lagi. kemudian kakinya beranjak lagi.
Jujur, ada perasaan marah yang timbul dalam dadaku. Setelah sekian lama, setelah luka itu ia torehkan. Kini, ia sendiri yang berlagak seperti tersakiti.
"Kamu tuh kenapa, sih?"
Bagai direm, tubuhnya berhenti begitu saja. Kepalanya kembali berputar. Matanya yang hitam pekat menatapku dalam. Ada lelah di sana. Mungkin bosan meladeniku yang tiba-tiba datang.
"Aku enggak tahu pasti apa yang kamu pikirin sekarang, Na. Tapi ingat ini untuk sekali saja dalam hidupmu, aku tunangan kakak kandungmu sendiri. Jangan berharap lebih."
Haruskah aku menerima kenyataan ini? Air mata yang sempat kutahan seketika membanjiri pipiku. Aku sadar dia milik kakakku sekarang, tapi Tuhan bolehkah aku tetap mencintainya?
"Maafkan aku." Tak tahan dengan rasa sakit dan air mata akibat kenyataan pahit yang baru saja ia sadarkan lagi kepadaku, aku berlari sekuat yang aku bisa. Kejam, takdir memang kejam. Kenapa harus tunangan kakakku sendiri? Seolah takdir telah mempermainkanku di atas kata cinta.
"Rana!" Ada apalagi ia memanggilku? Tak cukupkah Ia membuatku menderita dengan keadaan ini? Keadaan di mana aku hanya bisa memandanginya tanpa bisa memilikinya untuk diriku sendiri. Keadaan di mana hanya aku yang berharap ada secercah harapan untukku agar bisa bersama dengannya.
Apa masih belum puas baginya mempermainkan aku. Aku tak ingin kakakku juga dipermainkan olehnya.
"Cukup! Belum puaskah kamu?!" Dengan perasaan yang menahan sakit aku berusaha untuk mengucapkannya.
Dapat ku liat dari manik matanya kalau dia cukup terkejut dengan ucapanku. Di dalam tatapan itu dapat ku rasakan ada rasa kecewa yang cukup dalam, tapi untuk apa dia kecewa? Bukankah di sini aku yang dipermainkan?
Di satu sisi dia berlaku seolah aku adalah segalanya tapi di satu waktu yang sama dia mencampakanku, berlalu tanpa sepatah kata.
"Kamu tahu? sejak perpisahan kita terakhir kali dan memutuskan untuk pergi. Aku membawa secuil rindu yang kemudian menggunung hingga kini. Namun aku telah salah, berharap lebih pada sesuatu yang bukan milikku adalah sebuah kesalahan," ujarku.
"Cinta tak mungkin berubah menjadi benci, tak mungkin pula menjadi momok dalam mimpi indahmu. Bagiku kau tetap yang tercinta walau banyaknya kerumitan dan terjangan yang menghadang kita. Berbahagialah maka aku akan bahagia juga."
Setelah mengucapkan kalimat itu, aku terdiam dengan pandangan yang mengabur karena terhalangnya dengan cairan bening yang berdesakan keluar. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bersama, tapi tidak untuk bersatu. Aku dan Adrian. Kita hanya akan seperti matahari dan bulan yang berada pada langit yang sama, namun sedetik pun kami tidak pernah bersatu.
-
-
-
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu Masa Lalu
Short StoryEvent setiap malam Minggu #5. Kolab member dengan menyumbang satu kalimat. Dibuat pada malam Minggu, tanggal 16 Januari 2016 Dimulai pukul 19:25-21:29 WIB [Sudah mengalami editing, jika masih ada beberapa yang terlihat ambigu, mohon saran dan masukk...