BAB II

29 2 0
                                    

"Dengerin lagu apa?"

Alana menoleh ke arah Deva, ia tersenyum manis. "Udah, ya?"

Deva mengangguk. "Udah." sahutnya lalu duduk di sebelah Lana.

Tadi, dengan sedikit paksaan, Lana meminta Deva untuk mengantar Haru ke ruang Kepala Sekolah berkenaan dengan data-data murid baru yang harus ia konfirmasi. Dengan dorongan Lana, Deva menyetujui untuk mengantar Haru.

"Dengerin lagu apa, sih? Aku dicuekkin," rajuknya seraya bersender ke bangku lapangan basket sekolah.

Lana memejamkan matanya. Meresapi alunan nada yang terdengar begitu indah. Jemari lentiknya menari-nari di atas pahanya, Deva mulai menebak, apa yang Lana dengarkan. "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," gumam Luna.

Dengan cepat, Deva mengambil salah satu earphone Luna, dan memasangnya di telinga kanannya. Tuts-tuts yang terdengar menggebu-gebu terdengar di telinganya. Quasi Una Fantasia. Deva mulai berpikir, sejak kapan Lana menyukai musik klasik? Apalagi Beethoven?

Deva masih mendengarkan Sonata No. 14 itu dengan kening berkerut, mendalami simfoni menggebu itu. Bagian terakhir dari Moonlight Sonata ini bernama Presto Agitato. Deva dapat merasakan kemarahan, frustasi, dan luapan emosi Beethoven dalam komposisi simfoni ini.

Lagu pun berakhir. Dan Lana kemudian membuka matanya perlahan, memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat wajah Deva. "Hebat, bukan?" tanya Lana.

Deva tak sadar jika dia sedari tadi juga memejamkan matanya. Dengan perlahan, ia membuka kedua kelopak matanya. Dia tersenyum dan berkata, "Tentu saja. Beethoven yang terbaik." katanya.

Kemudian, terdengar komposisi Fidelio mengalun dengan riang. Deva tersenyum mendengarnya, kemudian ia teringat sesuatu. "Sejak kapan kamu suka musik klasik?"

Lana memelankan volume musiknya. "Itu artinya," ucapnya. "kamu belum sepenuhnya mengenalku dengan baik." Ia menatap kosong ke depan

Deva tertegun. "Hei," bantahnya. "Kita sudah berteman lebih dari sepuluh tahun."

Lana mengangguk membenarkan. "Tentu saja. Dan waktu sepuluh tahun tidak akan pernah bisa membuatmu mengenalku lebih baik."

Deva tertawa. "Oh, ya? Lalu, bagaimana denganmu?"

Lana memiringkan kepalanya sedikit. "Apa? Bagaimana aku mengenalmu? Tentu saja. Aku mengenalmu dengan baik."

"Oh, ya?" Deva mencoba menantang Lana. "Siapa aku?"

Lana berpura-pura berpikir, dengan jari telunjuk mengarah pada dagu. "Radeva Azka Waranggana. Dia yang tidak suka makanan pedas, cerewet, takut dengan ulat. Hm, tidak bisa menulis tanpa Gel Pen, suka membaca buku klasik. Pelajaran Bahasa Inggris dan Biologi favoritnya. Takut hantu, capung, cicak-"

"Tunggu, tunggu," Deva menyela. "Darimana kamu tahu kalau aku takut capung?"

Lana tertawa kecil. "Ingat kado misterius pada ulang tahunmu yang ke-sepuluh?"

Deva menerawang. Kemudian dia mengangguk. "Kado itu dari aku." ucap Lana menepuk dadanya bangga.

Deva kembali menerawang. Dia mengingat kilasan masa lalu itu. Kemudian ia teringat. "Jadi kamu yang ngasih kado yang isinya lusinan capung hidup?!" Deva memekik.

Lana tersenyum bangga. Kemudian ia tertawa, mengingat masa itu. "Aku masih ingat, bagaimana caramu berlari dan berteriak ketakutan ke segala arah," katanya seraya tertawa.

Deva diam-diam tersenyum samar. Memang benar, Lana mengenal Deva lebih baik. Tetapi, Deva mengingat Lana di setiap menitnya. Dan itu terdengar lebih baik dari apapun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beautiful ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang