Tiga ratus empat, tiga ratus lima, tiga ratus enam.
Lembar demi lembar ia koreksi, entah sudah yang ke berapa kali. Cerita kali ini bertema roman menjurus sastra, dan Levi menyelesaikannya dalam tiga bulan terakhir.
Ia menghembuskan napasnya keras-keras, memandangi setumpukkan kertas berisi tulisan tangan itu dengan tatapan bersyukur. Akhirnya cerita itu selesai juga, walau sering tersendat. Setidaknya cerita itu tak berakhir dengan klise, juga tak melalui twist. Karena jauh-jauh sebelum ia mulai menulis, Levi sudah menentukan plotnya matang-matang.
Ia berdiri dari kursi sambil mengangkat setumpukkan kertas itu, lalu berjalan menuju sebuah mesin fax yang terletak di atas meja yang lain. Dimasukkannya satu persatu kertas ke dalamnya setelah ia menekan beberapa nomor dalam mesin itu. Sampai di lembar akhir, ia merasakan ponselnya bergetar dari saku celana.
"Halo,"
"Ya, Levi, aku sudah menerimanya," Dia, Charles Dane, editor. Mereka telah mengenal selama kurang lebih tujuh tahun, ia juga menyunting buku-buku karangan Levi sebelumnya.
"Wah, cepat sekali. Kurasa aku baru mengirim lima belas menit yang lalu, apa semuanya sudah sampai?"
Charles mengiyakan. "Tiga ratusan lembar, tapi aku belum menerima bagian epilognya,"
Levi menghela napasnya pelan, ia duduk kembali di kursinya dan memandang ke luar kaca apartemennya yang lumayan besar. Kota London terlukis jelas di depan matanya. "Aku sengaja melewatkannya."
"Apa? Kenapa? Kurasa bagian akhirnya sedikit menggantung,"
"Begitu lebih baik. Biarkan persepsi mereka masing-masing yang menyelesaikan epilognya,"
"Mereka? mereka siapa?"
"Para pembaca, tentu saja."
Levi mendengar lawan bicaranya itu mendengus dan menggumamkan beberapa kata. Walau di pendengarannya tak terlalu jelas, ia yakin bahwa Charles sedang mengutuk dirinya.
Ia terkikik, lalu melanjutkan, "Yasudahlah, kalau ada apa-apaーselain masalah epilogーhubungi aku saja."
"Kau memerintahku? Baiklah."
Levi baru saja ingin memutus sambungan, sebelum Charles menghentikannya terlebih dahulu dengan sebuah panggilan keras.
"Apa lagi?" Tanya Levi setelah ia mendekatkan ponselnya kembali ke telinga.
"Malam ini kau kosong?"
Levi segera melihat ke kalender yang tergantung di belakang pintu. Hari ini tanggal dua puluh tiga November, dan disitu tak tertulis catatan apapun. "Sepertinya begitu. Kau mengajakku berkencan?" Guraunya.
"Kau gila? Kita sedang dikejar deadline. Lagipula aku bukan gay sepertimu,"
Levi tertawa. Nyatanya sindiranーlebih tepatnya faktaーitu malah membuatnya geli. Sebuah cangkir berisi kopi digesernya ke tengah meja, isapan terakhir ia sisakan untuk nanti. "Ya ya ya, aku tahu. Ketemu di Gordon Bist, pukul tujuh. Baiklah akan kutunggu,"
"Izinkan aku mengoreksi: aku yang menunggumu, kau selalu telat."
Levi sempat terkikik lagi sebelum ia mendengar suara nada panjang dari ponselnya. Kali ini benar-benar terputus, Charles yang menutup dulu.
Editor buku yang sekarang menyandang status sebagai teman baiknya itu berusia dua puluh sembilan. Ia lahir di Amsterdam, ayahnya blasteran Belanda dan Asia sedangkan ibunya asli Inggris. Ia memiliki tubuh yang tinggi serta kulit putih. Rambutnya lurus berwarna hitam kecoklatan. Matanya agak sipit dengan iris kelabu, sehingga orang-orang akan mengira kalau dirinya memakai lensa saat melihat matanya. Sejak orang tuanya berpisah, ia memutuskan untuk tinggal bersama ibu dan ayah tirinya di London.
Charles pertama kali bertemu dengan Levi saat usianya dua puluh dua. Saat itu ia sudah selesai kuliah dan baru saja memulai karirnya sebagai editor di sebuah perusahaan percetakan. Awalnya, ia ditugaskan oleh ketua timnya untuk menyunting karya ketiga dari seorang penulis muda berbakatーmaksudnya Levi. Setelah mereka bertemu dan memperkenalkan diri masing-masing, akhirnya hingga sekarang mereka menjadi teman baik.
Levi beranjak dari kursinya menuju sebuah rak buku besar yang terletak di sebelah kiri meja. Diambilnya sebuah buku tebal yang terlihat agak lecak dan banyak sobekkanーitu adalah buku agenda hariannya, Levi biasa menulis setiap akhir hari. Namun kali ini sepertinya ia akan menulisnya lebih awal, entah kenapa.
Ia mengambil pena bertinta hitam dari saku kemejanya, membuka tutup pena itu dan mulai menulis di salah satu halaman buku itu.
(23/11)
Untuk K, yang sekarang entah dimana.
Buku keempat (tentunya masih tentangmu) telah kuselesaikan. Kuharap kau bisa membacanya.-
Tanpa ragu, ia menutup buku catatan itu. Penanya diletakkan kembali di sakunya, dan buku itu kembali ditaruhnya di dalam rak.
Lalu, ia tersenyum puas.
*
*
(Authors curcol)
Part yang ini pendek? iya.
Lama update? iya.
Gak berkualitas? iya.Yah pokoknya saya minta maaf atas segala ketidak jelasan dan keanomalian cerita ini dikarenakan saya keasyikan bermaso di fandom lain;_;/bodoamatwoy/sungkem/ INI BAHKAN KURANG DARI 1000 WORDS ASTAGA/ditendang/kabur/sip.
((Tapi saya senang+terharu masih ada yang mau baca cerita kayak gini ya ampun;-;/gaada kok tom, gaada./pundung di pojokkan/))
Akhir kata, saya pasti akan sangat senang jika ada yang meninggalkan vomment di part yang ini, dan saya berterima kasih untuk users yang sudah meninggalkan vomment di part sebelumnya:))))), You really are my motivation to continue this story:)))
29/1/16, with love,
Tomappi.
KAMU SEDANG MEMBACA
citrus of yours
RomancePada kenyataannya, masa lalunya itu selalu meninggalkan jejak; rangkaian peristiwa yang telah pecah dan menjadi sebuah implikasi dalam memori Levi. . (this is a gay themed story so just click back if you dont like it.)