Prolog: Playfull Kiss

24.6K 253 6
                                    

Keringat dingin membanjiri pelipisku. Aku, seorang Alexander Fabian, actor tampan dan dermawan yang biasanya  selalu percaya diri di hadapan semua penggemar, kini dibuat gemetaran oleh seorang wanita tua yang mengancam akan mencoret namaku dari kartu keluarga jika tidak menuruti perkataannya.

Dengan kecepatan maksimal yang tak biasa, bahkan dengan mempertaruhkan nyawaku yang hanya satu-satunya, aku melajukan mobilku sayang yang baru saja datang dari Perancis seminggu yang lalu. Masa bodoh dengan body-nya yang mungkin bisa saja tergores  debu, atau kacanya yang mungkin saja bisa retak akibat seekor sapi yang akan dengan tiba-tiba terlempar dari truk di depanku. Sejujurnya untuk saat ini, hal-hal tersebut tidaklah penting jika dibandingkan dengan nenekku yang sekarang tengah memata-mataiku.

Beberapa kali aku menilik ke arah spion, dan dia masih disana, tepat beberapa meter di belakangku. Dengan sebuah mobil merah menyalanya yang berkecepatan nyaris setara dengan milikku. Nenek tua itu ternyata telah membuntutiku sejak pagi. Aku menyadarinya ketika tengah menjajal beberapa jas di butik langganan. Tepat ketika tengah bercermin, saat itulah tak sengaja aku mendapati sesosok nenek-nenek keriput yang begitu familiar muncul dari pantulan kaca.

Menekan speedial pada ponselku sesaat setelah menekan angka 8 pada tombol lift. Menggaruk belakang kepalaku kasar ketika si tapir bodoh itu tak kunjung merespon panggilanku. Ting. denting lift, disusul dengan kedua pintu aluminium yang terbuka. Buru-buru aku berlari menyusuri lorong dari beberapa pintu apartmen dan berhenti tepat di blok A23. Memasukkan sandi pada intercom hingga suara 'piririp' terdengar dan pintu apartmen terbuka.

"Loh, kok udah pulang, Bi?"

Binggo.

Tepat disaat yang tepat, sang tapir yang menjengkelkan muncul tanpa perlu aku menjelajahi seluruh ruangan. Kuseret tangan wanita itu yang bahkan belum sempat memberikan kata-kata sambutan tak bermutu seperti biasa.

"Bbbi, kenapa? Ada apa?" Rena terus bertanya. Mungkin dia bingung ketika tiba-tiba aku menyeretnya sembari menjelajahi seluruh ruangan untuk mematikan lampu dan berakhir di dalam kamar mandi.

"Kok lampunya dimatiin semua sih, Bi? Nggak biasanya kamu suka gelap-gelapan. Kamu kan takut gelap, Bi. Eh, apa mungkin...." Rena menangkupkan kedua tangannya pada wajahku. "Kamu udah kerasukan ya? Dapet setan pemberani dari mana kamu, Bi???" celotehnya membuatku jengkel lantas menepis tangannya.

"Iya. Aku kerasukan. Dan parahnya sekarang, aku sedang berminat untuk menenggelamkanmu ke samudra atlantik." pekikku. "Ah, tidak! Terlalu merepotkan. Mungkin membuatmu meminum habis air dari lubang wc sudah cukup membuat setan dalam diriku ini puas." ralatku. 

"Nggak lucu, Bi,"

"Kau pikir yang tadi itu juga lucu?! Dasar bodoh!"

Disaat yang bersamaan ketika kami tengah berdebat, seseorang mencoba menerobos masuk ke dalam apartmen. 'Piririp'. Aku melenguh, menyadari setengah dari kemungkinan yang telah kuprediksikan benar-benar terjadi dan berubah menjadi lebih banyak. Seharusnya aku tahu, kalau nenek tua itu selalu serius dengan perkataannya.

"Bbbi, kamu ngundang Tama kesini?" Rena bertanya. "Ya, Ampun. Kamu tau aja kalo aku kangen sama dia. Bentar, biar aku bukain."

Belum sempat aku membalas ucapannya, Rena sudah saja menerobos hendak keluar jika tidak kucegah.

"Bukan Tama, tapi maling."

"Ha?"

"Ah, mata-mata."

Playfull Kiss.Where stories live. Discover now