Kau sudah menjelaskan padaku, kau ingin jadi pilar. Pilar yang tak akan roboh diterpa angin, pilar yang tak akan tumbang diterpa badai. Kau sudah mengatakan padaku makna memiliki sebelumnya, kala nafas mulai tercekat, kala hati mulai terpikat. Meski kadang duniaku tak ubahnya penuh dengan abu-abu, kau hadir seperti pewarna di dalamnya. Meski aku sudah menulis skenario hidupku sendiri, kutahu... kau tetap akan jadi sutradara. Kau, ya kau!
Kau yang pernah mampir, lalu minum kopi secangkir. Kau yang pernah menangis, kala gerimis. Kau yang tampak egois, meski hatimu teriris. Itu kau, ya kau! Yang tak pernah mundur meski aku menantang, yang tak pernah pergi meski aku mengusir. Aku tahu kau tak ubahnya pilar. Iya, pilar! Yang menyangga berat hidupku, yang mengatur aliran nadiku, mengukir sedikit demi sedikit rasa aneh namun indah dalam hatiku.
Aku tak ubahnya pecundang di matamu, ketika kau hadir dalam malam. Ketika kau bernafas, mencumbuku dengan untaian cinta. Kau masih saja pilar. Atau mungkin hujan?
Lihat aku, wahai makhluk berjakun! Hujan mengguyur hatiku, menyongsong kalbu dalam alunan nada. Kau membuat nada itu mungkin, mengalun dalam untaian jemariku. Kau yang sedang terpekur, berpikir tentang alur hidupku yang mestinya sudah kau susun sejak awal. Kau. Iya, kau!
Mampirlah, maka aku akan menjumpai cintamu di pintu hatiku! Mampirlah, lihat aku! Kau hanya perlu melihat, memelukku sesekali. Aku akan menangis, aku akan menjerit. Maka kau harus datang sebagai pelangi, menghapus semua gundah yang kurang ajar itu. Resahku sudah di ambang batas, niscaya kau akan kenali bahwa diriku bukan pemuja bagian cinta. Kau hanya perlu tahu, wahai kaum Adam!
Kau hanya perlu tahu dan mengerti!
Bibir ini kadang bersikap dusta, mengatakan hal yang tak akan pernah kau kira. Lidah ini akan terus menari, menjadi rajutan cerita yang mungkin bisa kau percayai. Sekali lagi, aku mencoba untuk itu! Meski jiwa menggelitik hampa, saat jemarimu tak mampu mengusap. Meski aku sudah lelah berharap.
Kau seperti bermain layang-layang, hai lelaki! Kau tarik hatiku, lalu kau hempaskan lagi. Aku suda bertekad, aku tak akan terikat. Tapi aku salah, aku khilaf. Kau hadir lagi dalam mimpi ini, menyongsong sepi sendiri tanpa arti. Aku sudah lelah begini, tapi aku selalu mengulangi.
Kala hujan mengguyur, kau pasti kabur. Kau sudah ciptakan itu, lalu kau abaikan. Kau selalu katakan dunia tak lagi sama, siapa yang kuat akan berkuasa. Aku bukan lelaki kuat, aku pendosa. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Dengan pijar malam yang temaram, dengan fajar yang menyingsing di ufuk timur, dengan segala saksi alam, bisik angin... kau! Kau naluriku, hai lelaki! Kau katakan cinta kita suci, beradu dalam pandangan norma. Kau bilang kita bisa bersama, asalkan kita saling mencinta. Kau lupa, bagaimana kita akhirnya bersatu? Kubuang ibuku, ayahku, kakakku hanya untuk bersatu dengan pelukmu.
Kini kau berbeda.
Bukan lagi sosok yang hadir tiap malam menjelma jadi mimpi. Bukan lagi sosok indah yang mengatakan betapa bersyukurnya kau atas kehadiranku. Kau mulai pergi dan menjauh, mencari makna pasi dalam setiap arti. Kau hempaskan mimpi yang sudah kujahit tiap malam. Dalam sembah sujudku akan doa, dalam sujud syukurku atas cinta. Kau kian berbeda.
Tak perlu lagi alasan untuk menyangkal rasa, lelakiku! Kau hanya perlu sadari, kau mencintaiku namun tak mungkin bersamaku. Kau punya jalan yang kau inginkan, tapi kau menyeretku pergi lalu kau tinggalkan. Aku sudah tak punya apa-apa lagi! Aku sudah mendepositokan seluruh rasaku untukmu. Hatiku telah kuberi untukmu, namun kau sewakan hatimu pada orang lain.
Kau bilang hatimu hanya milikku. Lalu apa aku mirip dengan induk semang rumah sewa? Milikku, tapi aku tak bisa menghuninya. Kau, ya kau!
Pergilah meski hatiku terkikis gerimis. Pergilah meski mataku beruraian tangis. Pergilah, pergilah!
Aku sanggup sendiri meski tanpamu. Meski kadang malam merasuk, menusuk dalam tulang dan sendiku. Aku kuat, aku sanggup berselimut sendiri tanpa hadirmu. Aku akan coba untuk terbiasa, meski aku belum tentu bisa. Aku akan coba menulikan telingaku akan bayang bisikmu. Aku akan membisu, meski aku ingin menyebut namamu. Aku akan melakukannya. Kau tenang saja!
Saat hujan mulai pergi, udara dingin masih terasa. Kau tahu, seperti itulah kau kini. Kau sudah pergi, berganti dengan langit cerah yang indah. Namun baumu, jejakmu, kau lupa... kau salah kalau ingin melukis awan. Kau lupa, kau salah kalau ingin membuat bias. Bias itu bukan rona kesedihan, tapi melingkupi makna dalam dan menyindirku. Setelah hujan akan ada pelangi. Tapi yang kutahu pelangi hanya ada di matamu.
Kau. Ya, kau!
Apa kabarmu hari ini? Kau masih pilar seperti dulu? Masih tetap kokoh meski angin menerpa? Masih tetap tegak berdiri, melawan badai seorang diri? Kau, ya kau!
Kau bukan lagi pilarku!
Aku sudah sering menangis. Aku sudah sering tersakiti karena mengenangmu. Aku sudah cukup sabar merajut hari dengan rasa sedih. Aku lelah, aku pasrah. Kau bukan lagi impian yang selalu aku inginkan. Kau bukan lagi mimpi yang ingin aku wujudkan. Kau... kau hanya kenangan menyakitkan, yang ingin aku hilangkan, yang ingin aku musnahkan, yang ingin aku hancurkan, yang ingin aku.... ulang.
Aku tak sekuat itu untuk melepas bayangmu.
Aku memang lelah, aku sudah katakan kalau aku menyerah. Tapi aku enggan mundur. Kukatakan padamu, aku sanggup menunggu. Tapi kau menggeleng, mengatakan semua itu percuma. Aku hanya harus kembali fokus dengan mimpiku. Bagaimana bisa? Mimpiku adalah tentang dirimu.
"Masihkah kau mengingatku?" Aku mengatakan itu padamu. Kau hanya tercekat, lalu tersenyum hangat.
"Tentu, bagaimana aku bisa lupa?"
Kau tak akan pernah lupa, namun kau tak akan pernah terjun lagi di dalamnya. Kau enggan menyelami lagi hatimu terhadapku. Kau menjauh, mendorongku pergi, lalu mengklaim seseorang yang lebih layak dariku. Kau tahu, aku tak sekuat itu untuk menerima.
Aku merajut lagi kenangan kita.
Kukunjungi jejak-jejak perjalanan kita. Saat tawa masih membahana, saat senyum jahil masih bersua, saat bibir masih terpagut sesekali dalam desah rasa. Kau ingat, aku selalu memuji aroma nafasmu. Harum yang menerpa hidungku, masuk ke rongga dadaku, menjadi sesuatu yang kau sebut dengan desah.
Kau tahu, aku kembali mengingat sakit setelahnya. Setelah kau bawa aku terbang, saat kau bawa aku melambung, lalu kau hempaskan. Kau tidak mengingatnya, tapi aku mengenangnya. Kini sakit yang akan kurasa, meski tawa menggelegar dalam cerita itu. Kau, dengan pesonamu... menarikku pergi, lalu membawaku menjauh. Ketika kita sudah melangkah jauh, kau berhenti. Kau mendorongku hingga aku terpaksa melangkah seorang diri.
Aku berjalan sendiri. Aku melangkah sendiri.
Hanya dengan satu kata saja kau sanggup membalikkan duniaku. Dunia indah kita sudah sirna, saat malam pekat itu membuatku kembali tercekat. Ponselku menjadi saksi hancurnya hatiku, melongok dalam-dalam tentang rasa yang terluka dalam. Aku masih ingat pesan tentang apa itu.
"Mas, aku akan menikah!" ucapmu kala itu, yang akhirnya membuat duniaku makin kelabu.
Kau kini bukan pilarku. Kini kau sudah menjelma jadi hujan. Hujan tanpa pelangi. Hujan. Hanya hujan.
END
Aku puitis, ya? Ehehehehee.. *ngakak
Ini ngetik pake hape. Astogeh... keriting ya tangan ini... :v