Angin berhembus ganas berusaha meneriakkan pada orang-orang bahwa hujan deras akan segera tiba.
Kulihat beberapa manusia menutup jendela mereka dengan kasar seolah risih akan kedatangan angin. Aku tertegun. Mengapa mereka tak menyukai angin? Walau menyebalkan, tanpa angin mereka tak akan tahu bahwa hujan lebat akan segera merajam bumi.
Tap, tap, tap...
Suara derap langkah kaki memecah suara sang Bayu. Kepalaku segera menoleh ke arah suara itu.
Laki-laki itu. Aku tak mengenalnya. Tapi, seminggu belakangan ini ia sering menghampiriku yang memang suka duduk di pojok kelas setiap pulang sekolah.
Aku bisa merasakan begitu lembut hembusan angin di dalam ruangan ini. Seperti menyertai kehadirannya.
Laki-laki itu tersenyum menatapku, menciptakan suatu rasa tak tergambarkan, entah bagus, entah tidak. "Hai," sapanya.
Suaranya lembut. Selembut angin. Setiap mendengarnya, aku tahu bahwa aku menyukainya, menyukai suara lembut itu. Andai bisa, aku ingin menyentuh suaranya, mendekapnya.
Tergagap aku menjawab, "H-hai." Dan memaksakan seutas senyum padanya.
Ia duduk di sebelahku dengan membawa lengkungan senyum termanis di bibirnya. "Kecewakah engkau ketika angin berhenti?"
"Eh?" aku menoleh keluar. Aku tak pernah menyadari angin berhenti. Karena masih bisa kurasakan hembusan lembut angin itu. Aku menoleh ke luar jendela. Daun-daun di luar sana benar-benar berhenti bergoyang. Apakah angin benar-benar berhenti? Sudah lelahkah mereka? Dan pertanyaan itu, seolah dia tahu benar bahwa aku adalah gadis yang sangat mencintai angin sehingga ia bisa menduga rasa kecewaku atas perginya angin.
Seketika aku merasa deja vu. Dia datang ke sini setiap hari, setiap usai sekolah, setiap sekolah mulai sepi. Ia selalu datang dengan angin-angin itu dan menyapaku dengan suara lembutnya. Kemudian, ia akan duduk bersamaku untuk menikmati hembusan angin sejenak.Dan ia melontarkan pertanyaan yang selalu sama. Namun, belum pernah sekali pun aku menjawabnya. Aku tahu, sebentar lagi ia akan beranjak.
Ekor mataku bisa melihat gelagatnya yang tampak hendak beranjak. Perhitunganku tepat. Aku tak punya nyali untuk menatapnya, tapi ekor mataku dapat menangkap setiap gerak yang ia lakukan.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu," aku yang sedari tadi sibuk di 'dunia pasif'ku pun angkat bicara. Ingin menyudahi rasa penasaran.
Ekor mataku kembali menangkap gelagatnya yang tampak menunda perginya. Bisa kurasakan ia tengah menatapku. Dengan susah payah kukumpulkan keberanian untuk menatapnya balik.
Matanya hitam kecokelatan dipayungi alis tebal yang kini sedang dinaikkan satu, menunggu kata tanya dariku. Aku terperangah sejenak. Lantas menarik napas dan menghembuskannya kembali. Menarik akal sehatku yang hampir kandas.
"Kenapa angin selalu berhenti ketika kau datang?"
Tawa kecil nan lembut keluar dari bibirnya setelah mendengar tanyaku. Lantas ia menjawab dengan tenang, "Karena akulah angin."
Untuk dia yang memiliki suara sesejuk angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin
Short StorySebuah cerita pendek hasil renungan di jendela. Kepada angin yang berusaha kusapa.