Claire: Chapter I

722 17 0
                                    

Tidak banyak yang tahu tentang cerita ini. Tentang impianku. Ya, impian yang sudah kusimpan lama. Kubenamkan hingga akhirnya tertutup impianku yang lain. Mungkin saat ini adalah waktu yang paling tepat dari semua kesempatan yang pernah hadir. Semoga aku tidak salah menempatkan momen ini.

Kau pernah jatuh cinta? Impianku ini tentang cinta. Cinta pertama. Yang perlu kalian ingat, seorang pria, seperti aku misalnya, sulit melupakan cinta pertamanya.

Pada seorang gadis kecil, kutautkan hatiku untuk yang pertama kalinya. Barangkali dari seribu pria, hanya sepuluh yang memahami keadaan ini. Salah satunya aku. Beberapa orang menyebutnya cinta monyet. Tapi aku tidak menyebutnya demikian. Kau tahu betapa aku sulit melupakan paras eloknya? Bahkan sampai aku hampir menikah pun aku tidak pernah lupa dengan jumlah garis wajahnya ketika bibir indah itu melengkung. Senyuman manisnya.

Tidak ada yang tidak kuketahui tentang dirinya. Aku tidak pernah berhenti mencari tahu apa dan dimana ia menghabiskan hari-harinya selama ini. Aku mengakui bahwa aku pecundang. Aku tidak berani mengikatnya. Aku bahkan kalah sebelum berperang di medan perang yang tak pernah ada.

Sebutlah aku pecundang, pengecut, atau tolol. Tapi tidak untuk hari ini.

Hari ini, dengan tekad yang telah lama aku kumpulkan, aku memutuskan untuk menampakkan batang hidungku di hadapannya. Aku berhenti. Aku akan mengakhiri segala ilusi ini.

* * *


"Ben... Ini ditaruh mana ya?" Andhini mengangkat lukisan karya seniman muda yang kami beli di pameran seni rupa 'ArtJog' tahun lalu dan membawanya ke tengah ruang tamu. "Ben!"

"Ya? Apa sayang?" aku terkejut. Novel berjudul 'Tilde' yang sedari tadi kupegang langsung kumasukkan ke dalam tas briefcase berwarna coklat. "Oh, biar aku yang bawa sayang."

Andhini tersenyum saat menyerahkan lukisan itu padaku. "Kamu mikirin apa?"

Aku membalas senyumannya dan menggelengkan kepala. "Pasang di sini ya." Segera aku menyambar paku beton dan palu di meja.

Andhini adalah calon istriku. Dia memang bukan wanita pertama yang kucintai tapi aku berharap ia adalah cinta terakhirku. Mengapa aku memilih Andhini dan bukan memilih cinta pertamaku adalah pertanyaan yang tidak dapat kujawab. Entah mengapa aku mantap melamar Andhini pada bulan kelima kami berpacaran. Aku hanya mengikuti intuisiku. Tidak ada yang salah dengan intuisi kan? Sampai detik ini aku percaya pada intuisi meski kerinduanku terhadap cinta pertamaku bisa saja mengikisnya habis.

"Ben sayaaang..." ucap Andhini, gemas. "Kamu nggak dengerin aku ya?"

Oh, apa yang dikatakan Andhini barusan? Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri hingga mengabaikannya.

"Kamu ngomong apa, sayang?"tanyaku, memasang paku di salah satu sisi dinding untuk menggantungkan lukisan.

"Jangan bohong padaku, sayang. Kamu ada masalah?"

Lukisan telah terpasang dan aku memandang wajah Andhini yang penasaran. Ia dapat membaca kegusaranku.

"Masalah kantor?" Andhini membelai pipiku dengan tangan kanannya dan terus menatapku dengan tatapan ingin tahunya.

Dasar wanita! Bisakah menghentikan tatapan ingin tahunya yang seolah ingin menelanjangiku hingga rahasia kecilku terbuka dengan sendirinya? Aku meringis. Mati gaya karena rasa penasaran Andhini.

"Beeeeen..." tangan Andhini turun ke lenganku dan mengusap-usap pelan.

Tidak. Jangan keluarkan suara manja itu.

Aku membebaskan diri dari Andhini. "Aku mau keluar sebentar cari makan."

Dahi Andhini mengernyit. Ia tahu aku dilanda emosi yang aku sendiri tidak dapat mengurainya. Dan Andhini tahu situasi ini. Ia tahu kalau ada yang tidak beres denganku. Dia memang hebat untuk urusan seperti ini meski belum tahu cara menghadapiku dengan benar.

"Ben," Andhini mengikutiku masuk ke kamar untuk mengambil kunci mobil. "Kamu bisa cerita padaku. Sebentar lagi kita menikah. Bukankah kamu yang bilang kita harus saling terbuka?"

Persetan dengan apa yang pernah kukatakan padanya. Jurus memutarbalikkan omongan sepertinya dikuasai oleh semua wanita di dunia ini tak terkecuali Andhini.

"Aku lapar dan aku perlu sedikit udara segar," aku melirik jam tanganku. Setengah jam lagi sesi tanda tangan novel 'Tilde' dimulai.

"Kamu akan meninggalkanku sendirian di rumah asing ini?" tanya Andhini, panik.

Rumah asing? Aku mendengus. Aku membebaskan Andhini memilih perabot untuk rumah yang kubeli dua tahun lalu agar ia memiliki ikatan emosional dengan rumah ini dan ia masih menganggap ini rumah asing? Sial.

"Ini rumah kita, sayang." Aku berhasil menguasai emosiku dan merengkuh Andhini lalu mengecup keningnya. "Sebentar saja."

Andhini tidak berhenti memandangku meski aku telah melepas rengkuhanku dan berjalan menuju mobil.

"Kamu bawa tas?" Andhini curiga.

"Aku sekalian ketemu orang firma untuk mengantar dokumen," aku masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.

Andhini memiringkan kepalanya, masih curiga. "Hati-hati di jalan, Ben sayang."

"Kamu juga hati-hati di rumah kita," ucapku menekankan kata 'kita' kemudian menjalankan mobil.

Mobil bergerak menjauh dari rumah yang akan kutinggali dengan Andhini setelah menikah nanti. Aku sedikit gusar mengingat tatapan Andhini yang nyaris membuatku goyah. Maafkan aku, sayang. Ini tidak akan mengubah apapun diantara kita. Aku berjanji padamu.

* * *

~~~~~~~

Note for you, reader :

Haaai... terima kasih sudah berkenan membaca chapter 1 dari cerpen saya. Cerpen ini sebenarnya saya buat tahun 2010. Iseng-iseng nemu di salah satu drive yang mega-duper berantakan di laptop yang sudah lama tidak saya nyalakan. Beberapa bagian saya ubah sedikit agar lebih enak dibaca. Well, saya rasa tidak ada salahnya mem-publish cerpen ini via wattpad daripada ngendon di laptop. Silahkan lanjut membaca... ❤

ClaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang