Claire: Chapter II

574 20 8
                                    

Aku memasuki Anglo Coffee, sebuah kedai kopi, yang telah dipadati oleh peserta gathering. Setelah mengamati tiap sudut ruangan akhirnya aku menemukan seseorang yang memenuhi salah satu kompartemen otakku selama ini. Aku menyelinap ke antrian yang mengular dan mengeluarkan novel 'Tilde' dari tasku. Sepuluh menit kemudian, aku sampai di tujuanku. Aku berdiri menjulang di hadapan cinta pertamaku. Debar jantung ini ternyata masih sama ritmenya seperti dulu. Dan debaran ini hanya untukmu, Claire.

Aku menyodorkan novel 'Tilde' kepada Claire namun ia masih saja menundukkan kepala dengan pena di tangan kirinya. Aku tahu pena yang ia pegang. Pena dengan grafir inisial namanya: C.S. -Claire Sastradilaga-. Dua tahun lalu aku menghadiahkan pena itu karena ia berhasil menelurkan novel pertamanya.

"Mau ditambahi tulisan apa?" tanya Claire, siap membubuhi tanda tangannya.

Aku bahkan rela kesemutan hanya untuk mendengar suaranya yang merdu dan menyenangkan.

Aku berdeham. "Untuk Charlie Brown."

Seketika garis-garis halus muncul di dahi Claire. Aku yakin ia tidak lupa suaraku. Aku yakin ia tidak akan lupa strip komik favorit kami dulu. Perlahan ia menengadahkan kepalanya dan mengerjap tak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya sekarang.

"Benedict," ucapnya dengan syahdu. "Kamu datang?"

Aku selalu suka nadanya ketika menyebut namaku. Suaranya seperti mantra ketika menyebut namaku. Pelan, merdu, dan penuh penekanan. Setiap ia menyebut namaku, ia bagai mengklaim aku adalah miliknya. Kepunyaannya.

"Hai!" sapaku, berusaha setenang mungkin.

Mata kami bertemu, berusaha menelisik sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah terucap dari bibir kami berdua. Sesuatu yang kami tenggelamkan ke palung hati terdalam dengan alasan yang tidak masuk akal. Kalian pernah merasa utuh ketika bertemu dengan belahan jiwa kalian? Perasaan itulah yang memenuhi hatiku sekarang.

* * *

Ada beberapa hal yang ditakuti oleh calon pengantin sebelum hari pernikahannya tiba. Itulah mengapa kedua calon pengantin harus ekstra saling menjaga agar pernikahan mereka berjalan lancar, mulus, tanpa halangan berarti. Dan hari ini aku melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Aku mendorong rencana pernikahanku ke ambang kehancuran. Aku sendiri yang melakukannya.

Aku duduk berhadapan dengan Claire sambil menikmati alunan musik Gymnopedie No. 1 karya Erik Satie yang di cover oleh Depapepe, grup musik asal Jepang yang personilnya memainkan gitar akustik.

"Sury, owner kedai kopi punya selera yang bagus," Claire membuka suara sambil menyesap espresso-nya. "Kamu pensiun minum kopi, Ben?"

Aku tersenyum dan menyeruput white tea pesananku. "Mengurangi lebih tepatnya."

"Ini tidak mengecewakan dan cukup sopan di lambung. Kamu tidak ingin mencoba?" tawarnya.

"Aku ke sini bukan untuk minum kopi," tolakku, halus.

Aku hanya ingin bertemu denganmu.

Bibir tipis Claire melengkung seolah mengerti maksud kedatanganku. "Bagaimana kamu bisa menemukanku, Ben?"

Aku selalu menemukanmu.

"Tidak sengaja," jawabku. "Kamu sekarang terkenal."

Claire menatapku, berusaha mencari kebenaran yang kusembunyikan. "Kita berdua lekat dengan pertemuan dan perpisahan yang serba tidak sengaja ya Ben?"

Aku selalu berusaha menciptakan pertemuan diantara kita berdua, Claire.

"Tidak sengaja seakan tidak menganggap Tuhan tidak peduli dengan kita. Aku dan kamu sebenarnya tidak pernah terlibat dalam ketidaksengajaan. Alur kehidupan kita sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan waktunya," ucapku, melafalkan dialog salah satu tokoh novelnya di halaman 131.

ClaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang