"Erika! Awas!", seru Phoebe, sahabat gue sejak SMP.
Itulah hal terakhir yang gue ingat sebelum terdengar suara berdebum keras dan segalanya berubah menjadi hitam.[]-Regrets-
"ERIKAAAA BANGUNNNNN" gue mendengar suara samar-samar, diiringi suara isak tangis.
Gue membuka mata pelan-pelan, cahaya dari jendela menerobos masuk, seakan menusuk mata gue."Eh, ini kenapa dah."
"ERIKA! AKHIRNYA LO BANGUN!" ujar Phoebe, yang cepat-cepat menghapus air matanya. Ternyata dia yang manggil-manggil nama gue tadi.
Gue masih terdiam di posisi yang sama, masih kebingungan.
"ER LO INGET GUE KAN? INI ANGKA BERAPA?" kata Phoebe, dengan suara khasnya, sambil mengacungkan 3 jari.
Yaelah, segitunya dia khawatir sama gue? Isengin ah.
Segelintir pikiran jail masuk ke dalam otak gue.
"Eh, lo siapa ya? Gue siapa? Dan itu? Angka 1 kan?" jawab gue sok-sok kebingungan, sembari menahan tawa.
"ANJIR WOY GAUSAH PURA-PURA LO! NGAKU!"
Gue akhirnya tidak bisa menahan tawa, melihat ekspresi Phoebe ketika marah.
"Eh iya, iya. Gue inget kok. Lagian lo aneh gitu dah, khawatir banget sama gue? HAHA"
"Ya khawatir lah bego! Liat dong kepala lu kaya apaan! Lo ga nyadar apa kalo tadi lo kena bola basketnya Mikha?"
Saat itu juga, baru terasa rasa sakit menyengat pada kepala gue bagian kiri.
"Ah!" ujar gue sambil mengerang, memegang kepala gue yang ternyata sudah diperban.
"Tuh kan Phoeb! [baca : Fib!] Elo sih pake ngasitau segala. Sekarang gue nyadar deh. Sakit tau!" ujar gue, menyalahkan Phoebe yang sebenernya ga salah.
"Yee, lagian lo sih anaknya gapeka banget. Masa rasa sakit yang ada di diri lo aja lo ga sadar?" kata Phoebe sambil tertawa kecil.
"Oh ya, btw ceritain dah gue kenapa bisa kaya gini. Gue gangerti apa- apa."
"Kan, anaknya gapeka. Hih. Jadi, ceritanya...
[Flashback]
Phoebe, sejak tadi memperhatikan Mikha. Lelaki berperawakan tinggi semampai, dengan kulit sawo matang yang sedikit terbakar matahari, sedang berlari sembari menggiring bola basket. Disampingnya, Kevin, berlari dengan tujuan merebut bola tersebut. Kevin, yang sudah menargetkan bola basket tersebut sejak lama, akhirnya merebut bola tersebut dengan sekali gerakan. Para siswi yang menonton pertandingan sengit antara dua tim basket kebanggaan sekolah itu bersorak kecewa. Kevin menggiring bola dengan penuh percaya diri, mendekati ring basket. Mikha, yang tidak terima akan hal yang baru saja terjadi menyadari, bahwa tidak ada kesempatan lain, kecuali melempar bola tersebut ke luar lapangan supaya bola tersebut out.
"Ah! Bosen! Udahlah Fib! Gue laper, ke kantin aja yuk!" ujar Erika, dengan wajah manisnya yang merengut karena bosan.
"Ihh tunggu dulu Er! Lagi seru nih!"
"Yaudah gue gajadi traktir bakso nih!"
"EH IYA IYA GUE IKUT LO KE KANTIN!"Dengan perasaan menyesal, akhirnya Phoebe mengikuti Erika ke kantin. Namun, Mikha tepat melakukang aksinya melempar bola ke luar lapangan keras-keras saat mereka berjalan menyusuri pinggiran lapangan.
"Erika! Awas!" ujar Phoebe melihat bola terlempar menuju kepala Erika.
BUK! Bola basket tersebut mengenai kepala Erika dengan sangat keras. Alhasil, Erika jatuh ke aspal lapangan, kepala terjatuh duluan sehingga mengenai aspal. Kepalanya berdarah, sehingga para guru yang mengawasi pertandingan segera membawa Erika ke rumah sakit. Di ujung lapangan, seorang laki-laki menatapnya. Raut mukanya tegas, namun matanya menunjukkan rasa simpatik sekaligus bersalah. Laki-laki itu menatap Erika dalam-dalam.
Mikha.
[Flashback End]
"Woi Fib, gue suruh ceritain, lo malah bengong."
"Eh iya, ceritanya panjang Er. Pokoknya intinya lo kena bola basket yang dilempar sama Mikha. Terus lo jatoh, kepala lu berdarah. Terus lo dibawa ke rumah sakit deh. Kesini.""LAH? RUMAH SAKIT?" tanya gue (lebih ke teriak sih) bingung.
Phoebe menjawab gue dengan anggukan, lalu tertawa.
"Jadi dari tadi lo ga sadar kalo lo di rumah sakit? Sebenernya lo udah sadar belom sih?"
"Ya gue udah sadar. Tapi gue masih rada bingung. Emang gue udah disini dari tadi?"
"Bukan dari tadi lagi dah Er. Dari 2 hari yang lalu." jawab Phoebe dengan santainya.
"BUSET. 2 HARI? TERUS SEKARANG UDAH HARI KAMIS? OMAIGAT GUE KETINGGALAN PELAJARAN OR. CABUT SEKARANG FIB!"
"Eh. Santai kali. Gue udah bela-belain bolos buat lo juga, lo malah mau balik ke sekolah. Gimana sih?"
"Udah buruan cepetan, sekarang jam berapa?" tanya gue ke Phoebe, karena dia selalu pake jam tangan putih kesayangannya.
"Eh, jam 8."
"TUH MASIH KEBURU FIB, CEPETAN NTAR KITA TELAT!" ujar gue, berusaha memaksa Phoebe.
"Ih, mana keburu. Kita tuh ada di Sil*am Hospital! 20km dari sekolah. Nih ya, OR itu mulai jam 8.15. Kalaupun ga macet, kita bisa nyampe sekolah itu jam 9. Kalo macet, bisa 9.30. Waktunya keburu abis. Lo cuma ngincer pelajaran OR doang kan?" jelas Phoebe yang sangat idealis panjang lebar.
"Ah, ribet lo. Udah cabut sekarang aja!"
"Eh gaboleh Er, lo masih di infus. Kata dokter..." Sebelum Phoebe selesai bicara, gue langsung melepas infus gue, melompat dari tempat tidur rumah sakit.
Phoebe menghembuskan nafasnya. Mungkin dia lelah punya sahabat keras kepala dan nekat kaya gue gini.
Gue cuma nyengir.
"Berangkat!" ujar gue semangat.
"Eh tunggu, emang kita mau naik apa? Gue ga bawa duit loh."
"Yaelah, ribet amat."Gue membuka tas gue yang daritadi gue lihat di meja sebelah tempat tidur, lalu mengambil dompet gue.
Gue membuka dompet gue, dan ternyata isinya kosong.
"Ha! Udah deh, lo pasrah aja. Cuma ketinggalan OR sekali aja gapapa kali."
Gue emang cinta banget sama yang namanya olahraga. Hampir semua olahraga gue bisa kuasain. Coba aja tanya ke temen sekelas gue, siapa cewe terjago OR di kelas. Jangan kaget kalo jawabannya gue. Olahraga favorit gue itu, bela diri. Apa aja, taekwondo kek, karate kek, terserah lah. Gue jago semuanya, karena dari kecil gue udah di lesin sama ortu gue. Sekarang, gue jadi dikenal sebagai cewe yang tomboy.
"Gabisa woy. Erika? Bolos pelajaran OR? Mimpi." ujar gue, sambil mengeluarkan SIM motor gue, menunjukkannya kepada Phoebe, lalu tersenyum senang.
"Apa gunanya punya sim kalo gapernah dipake?".[]