"Gue suka sama lo dari dulu..."
[[Kalimat yang paling susah diucapkan, terlebih orang itu sudah punya pacar.]]●
Ara terus memandangi jari-jari tangannya yang ia lilit-lilitkan di pangkuan. Ia nampak sangat gugup sekarang. Dihadapannya duduk seorang cowok memakai kemeja kotak-kotak merah tengah asik memainkan ponsel, terlihat tidak peduli dengan Ara yang gelisah sejak tadi.
Ara menghembuskan nafas berat.
Kenapa Davi begini...
Ara membatin.Davi. Cowok itu. Adalah cowok yang Ara sukai sejak SMP kelas delapan. Dan kini Ara sudah kelas sebelas SMA. Sudah genap empat tahun Ara menyukai Davi sebelah pihak.
Sebelah pihak... haha, menyedihkan.
"Ara, lo mau ngomong apa?" Davi tiba-tiba bertanya, memecah keheningan diantara Davi dan Ara.
Ara terkesiap. Didongakkannya kepala untuk menghadap Davi sepenuhnya. Benar saja, Davi sedang menatapnya saat ini, membuat pipi Ara sedikit memerah.
Omong kosong dengan tatapan Davi saat ini, intinya gue harus mengungkapkan perasaan gue hari ini juga.
Ini saatnya.
Menghembuskan nafas, Ara berkata lamat lamat,
"G-gue... gue suka sama lo Dav. Dari dulu."
Bagai terlepas dari beribu ton beban dibahu. Begitulah yang dirasakan Ara setelah ia mengungkapkan perasaanya.
Tapi ternyata, menunggu respon dari Davi jauh lebih mendebarkan daripada saat pengakuan tadi.
Davi tampak tertegun sesaat. Matanya menelisik wajah Ara untuk mencari dimana tanda-tanda bahwa perkataannya tadi hanya sebuah candaan, hanya sebuah bohong belaka.
Tapi ia tidak menemukan tanda itu. Hanya ekspresi harap harap cemas yang ia lihat dari wajah gadis dihadapannya ini.
Berdeham pelan, kemudian ditatapnya Ara lebih intens.
"Gue bahkan nggak kenal elo Ra,"
Deg.
"Gue cuma tau, lo itu adalah teman SMP gue. Sekarang, elo adalah teman sekelas gue. Cuma itu, Ra."
Deg.
Cuma itu...
"Dan... lo tau kalau gue udah punya pacar kan?"
Fakta yang tentu saja membuat hati Ara berdenyut sakit mendengarnya. Tak perlu dijawab, karena jawabannya akan memberi dampak buruk bagi Ara.
Sambil menyenderkan badan disandaran kursi kafe, Davi menghembuskan nafas dan kemudian berucap,
"Kalau lo udah tau, maka elo tau jawaban gue atas pernyataan lo itu apa."
Deg.
Kenapa dengan hati ini?
Kenapa... rasanya sakit sekali?
Dimana lukanya? Aku tak dapat melihatnya...Ara menatap Davi dengan mata terbelalak. Tak tau harus bertindak seperti apa.
Sebagai gadis biasa yang memiliki mental tidak terlalu kuat, disaat-saat seperti ini, tentu saja Ara ingin menangis. Tapi entah menguap kemana semua air matanya sekarang.
Melihat Ara yang diam saja dan hanya menatapnya dengan mata terbelalak, Davi melanjutkan,
"Elo tau resikonya, Ra. Dan gue merasa nggak perlu untuk minta maaf atas perkataan gue ini."
Apa yang mengganjal ini?
Rasanya... seperti ada sesuatu yang tajam menancap tepat ditengah-tengah hati. Sakit... sekali."Lo salah udah suka sama gue, Ra. Lo buang-buang waktu. Elo tau resikonya, dan seharusnya lo berhenti buat suka sama gue, Ra."
Ara masih diam saja. Mengubah tatapannya yang semula terbelalak menjadi tatapan kosong. Menatap Davi yang sedang menatapnya balik saat ini.
Dulu, saat Davi menatapnya balik seperti ini, jantung Ara akan berdebar debar tidak jelas dan membuat Ara salah tingkah.
Tapi sekarang, saat Davi menatapnya balik seperti sekarang ini, malah membuat hati Ara berdenyut nyeri.
Hingga tatapan mereka terputus oleh dering ponsel seseorang.
Dering ponsel Davi.
Ara melihat Davi yang menatap sejenak layar ponselnya. Kemudian ia berdiri, sambil menatap Ara dengan pandangan datar.
"Gue pergi," ucapnya, masih dengan pandangan datar dan ponsel ditangan. "Pacar gue nelpon."
Pacar gue nelpon.
Ah kalimat itu. Dengan penekanan yang kuat disaat ia mengucapkan kata 'pacar'.
Rasa-rasanya, Ara sudah sering mendengar kata 'pacar' tersebut dari mulut Davi. Tapi entah kenapa kata 'pacar' kali ini terdengar begitu berbeda.
Terdengar begitu... menyakitkan
Davi pun melewati Ara yang sejak tadi diam saja. Menepuk bahu Ara sekali, Davi pun meninggalkan Ara sendirian.
Dengan air mata yang akhirnya keluar,
Menyusuri pipi Ara hingga dagu,
Tanpa berniat untuk menghapusnya.
●
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Can Hurt Sometimes
Teen Fiction"Menurut lo, apakah cinta sebelah tangan itu adalah cinta yang abadi?" Tanya Ara kepada Evan, sahabat dari kecilnya itu. Evan menoleh. Menatap Ara yang sedang memberikan pandangan penasarannya. Sepintas, Evan tampak menerawang pikirannya sendiri. "H...