Keenan merebahkan tubuhnya di atas tribun lapangan basket indoor. Kemeja putihnya tidak terkait satu sama lain sehingga menampakkan kaus dalamannya yang berwarna putih. Kepalanya bertumpuh pada lengan, matanya menatap langit-langit gedung. Tiba-tiba ingatannya berkelana ke masa itu. Masa yang tak pernah lekang dari memori ingatannya. Masa indah yang terlewatkan begitu saja.
***
Jari tengah dan telunjuknya mengapit sebatang rokok sepanjang jari kelingkingnya, menghisapnya dengan santai, kemudian menghembuskannya perlahan dari bibirnya yang kemerahan. Ia rebahan di atas tribun baris ke lima dari bawah. Sebuah topi sport berwarna merah menutupi sebagian wajahnya yang tampan.
Keenan sedikit berjengit saat rokok yang terapit di kedua belah bibirnya, tiba-tiba dicabut paksa oleh seseorang. Ia membuka matanya, menatap sebal pada seorang gadis cantik yang duduk anggun disamping tubuhnya.
“Bolos pelajaran lagi?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Bibir tipisnya sibuk melumat sesuatu yang terbungkus kertas aluminium foil berwarna perak.
“As you see,” balas Keenan sekenanya sambil mengambil sebatang rokok baru dari saku kemejanya, kemudian menyulutnya dengan api. “Lo ngapain di sini?”
“Di suruh Bu Sam manggil kamu.” Kazi cepat-cepat merogoh saku rok abu-abunya yang sebatas lutut, mengeluarkan sapu tangan dari sana. “Jangan merokok di sini, Nan. Kazi nggak tahan sama baunya.”
Keenan tampak tidak peduli. Kazi gemas melihat kelakuan kekasihnya itu. Dengan setengah memaksa, gadis itu menarik tangan Keenan hingga laki-laki itu terbangun dari posisi rebahannya.
“Apa?”
“Berhenti merokok dan cobain ini,” Kazi menyodorkan sebungkus coklat yang tinggal separuh ke hadapan Keenan. Laki-laki itu melengos.
“Gue bukan lo. Gue nggak suka coklat—sampai kapanpun itu!” Keenan melipat tangannya di depan dada, memperhatikan guratan kekecewaan di wajah Kazi.“Lo nggak bosen-bosennya ya sama coklat...”
“Just like you, Keenan. Kamu nggak bosen-bosennya ya bolos di tengah-tengah jam pelajaran, ngabisin waktu di sini Cuma buat tiduran dan merokok.” Kazi menimbang-nimbang sesuatu sebelum melanjutkan ucapannya. “Apa sih enaknya rokok? Apa sih enaknya nimbun penyakit?”
“Apa sih enaknya makan coklat tiap hari?” Kazi terdiam mendengar pertanyaan yang berbalik menyerangnya. “Ngapain diem? Nggak bisa jawab, kan?”
Kazi merebut puntung rokok Keenan, lalu menghisapnya dalam-dalam membuatnya terbatuk-batuk setelahnya. “Kazi udah nyobain rokok, sekarang giliran kamu yang nyobain coklat.”
“Jangan bodoh!” Keenan menepis coklat pemberian Kazi sampai terjatuh. Kazi dan Keenan berpandangan sejenak. Kazi memungut coklatnya, kemudian meletakkannya di atas buku diary-nya yang terbuka. Gadis itu berdiri, membalikkan badan, lalu melangkahkan kaki meninggalkan Keenan yang masih terpekur saat sekilas dilihatnya wajah Kazi yang memucat.
Tiba-tiba saja Keenan merasa bersalah kepada gadis itu.
***
Keenan tersadar dari lamunannya ketika ponsel dalam saku celana abu-abunya bergetar. Ia segera membuka sebuah pesan singkat dari Kezia, adik Kazi. Pesan itu berisi ucapan empat puluh hari meninggalnya Kazi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Keenan sangat merindukan sosok itu. Sosok yang telah bersamanya selama hampir tiga tahun. Sosok yang selalu sabar menghadapi sikapnya yang cuek dan dingin. Sosok yang sangat tergila-gila pada coklat dan terobsesi menjadi Chef yang ahli di bidang pengolahan coklat suatu hari nanti. Dan sosok yang selama ini bertahan dengan penyakitnya tanpa Keenan tahu.
Keenan memasukkan buku diary dan sebatang coklat yang selalu digantinya setiap seminggu sekali ke dalam ranselnya. Tiba-tiba secarik kertas terjatuh tepat di depan ujung sepatu kets-nya. Keenan mengambil kertas itu, lalu membacanya dalam hati.
Aku ingin menikmati coklat terakhirku bersama Keenan. Aku ingin membuat laki-laki itu percaya bahwa coklat tidak seburuk yang ia pikirkan, meskipun jelas-jelas karena coklatlah aku harus hidup berdampingan dengan penyakit itu selama ini.
Note : Belajarlah menyukai coklat karena coklat menyimpan semua kenangan tentang kita (:
-Khaziella-
Pandangan Keenan memburam. Tangannya bergetar, membuat kertas itu kembali jatuh di bawah tubuhnya. Keenan menutup wajahnya dengan kedua tangan, setelah itu yang terdengar adalah suara isak tangisnya.