Restorasi (Bagian 4)

31 2 0
                                    

Angin pegunungan yang sejuk membelai wajah Ken. Sembari memejamkan mata, dia menikmati udara bebas polusi sepuasnya. Wajahnya sedikit merona terpapar sinar mentari pagi yang menyehatkan.

"Nak Ken! Sarapan dulu!"

Mata itu terbuka, mendapatkan pemandangan serba hijau yang menenangkan hati. "Iya, Tante!" jawab Ken, berlalu meninggalkan tempatnya berdiri kembali ke rumah kayu tak jauh dekat situ.

"Ken ini betah ya berjemur disana," canda Tasya sambil menuangkan teh ke gelas-gelas di meja.

"Hoam... Ken mah gitu orangnya." Turi menguap lebar, rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur.

Ken menunjukan gigi putihnya, "Abis jarang-jarang dapet suasana begini di kota."

"Tinggal disini aja, Nak. Biar dapet suasana begini setiap hari," canda perempuan separuh baya yang membawa sebakul nasi.

Ken mengusap tengkuknya malu, "Maunya sih gitu, Tante. Besok kalo udah kerja, Ken mau cari rumah di daerah kaya gini lah."

"Serius? Disini nggak ada Game Center loh," goda Turi, mencomot tempe goreng tepung dan memakannya.

"Serius lah. Nanti gue yang buat Game Centernya," jawab Ken santai.

"Ada aja yang bisa lo jawab dari pernyataan gue," cibir Turi.

"Dasar! Bocahnya kambuh." Ken tergelak.

Bukan namanya Geng Kentut kalau tidak ribut. Selalu ada yang diributkan. Baik antara Ken dengan Turi, Ken dengan Tasya, maupun Turi dengan Tasya. Walaupun yang terakhir sangat jarang terjadi.

"Udah-udah, kalian ini ribut mulu. Nikmatin aja lah suasana disini. Mumpung masih bisa," potong Tasya.

Turi dan Ken hanya mangut-mangut. Sedangkan wanita paruh baya itu hanya tersenyum melihat tingkah ketiga remaja ini.

"Sudah, sudah. Dimakan dulu sarapannya. Keburu dingin nanti nggak enak."

"Iya, Tante," seru Ken dan Turi kompak.

***

Turi meninggalkan mereka dan berlari pulang. Tak lama kemudian dia memberhentikan taksi. Kesal sekaligus malu. Itu yang dirasakan Turi. Kesal karena bertemu mereka. Dan malu karena mereka menemukannya dalam keadaan yang sangat tidak ingin dia tunjukkan. Dia meruntuk, seharusnya dia pulang dan menikmati barang itu di kamarnya.

Tanpa sadar air matanya luruh. Hatinya berdenyut nyeri. Di hatinya tidak ada lagi rasa kepercayaan kepada sahabatnya itu. Hatinya telah dipenuhi sampah-sampah kotor.Hatinya tidak tersentuh lagi. Semua sudah berbeda.

Perkataan kedua sahabatnya terus terngiang di kepalanya tanpa henti. Turi bingung, apa yang harus dilakukannya. Taksi terus berjalan memutari kota tanpa henti. Namun, Turi belum juga turun dari taksi itu.

Supir taksi meliriknya dari balik kemudi. Pandangan cemas, tapi tak enak hati menegur penumpangnya. Saat tengah berhenti di lampu merah, "Tissuenya, Neng," tawarnya ragu.

"Makasih." Turi menghapus air matanya.

Malam semakin pekat. Mata Turi terlihat bengkak karena menangis. Setelah seharian berkeliling dengan taksi, Turi meminta supir taksi untuk mengantarnya ke rumah dan meminta maaf karena terlalu lama berada di dalam taksinya.

Hampir 1 jam terhalang macet, akhirnya taksi itu memasuki salah satu perumahan elit. Sepi, itu yang terlihat. Walaupun rumah megah berjajar rapi, pagar tinggi membatasi rumah satu dengan yang lain.

Geng KentutWhere stories live. Discover now